Jika tidak ada aral melintang, tepat pada tanggal 1 januari 2015 bangsa-bangsa dikawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan memasuki era baru dalam hubungan perekonomian khususnya perdagangan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara dikawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas teritorial negaranya dalam satu pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian dikawasan Asia setelah China. Semua industry akan berkompetisi secara bebas tanpa ada ketentuan hukum yang mengikat. Baik hubungan bilateral maupun multilateral antar Negara.
Berangkat pada sebuah posisi pemikiran bahwa percobaan neoliberalisme akan selalu berujung pada keterpurukan ekonomi. Makalah ini berupaya untuk membongkar faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya langkah-langkah atau upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian secara substantif dan riil guna menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN ditahun 2015. Fakta historis mengungkapkan bahwa implementasi pilar-pilar neo-liberalisme telah berhasil membuahkan persoalan-persoalan mendasar bagi per-ekonomian negara-negara di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, pengangguran,kesenjangan dan de-industrialisasi, menjadi warna dominan yang melekat dalam implementasi neoliberalisme. Bahkan episode krisis menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dari perekonomian global yang berjalan atas dasar aturan main neoliberal. Sementara itu, langkah dan komitmen negara-negara Asia Tenggara semakin kuat menuju terwujudnya sebuah agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Prinsip-prinsip dasar neoliberalisme dalam wujud liberalisasi, privatisasi dan derregulasi, menjadi roh dari terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Langkah-langkah implementasi strategis dengan tahapan yang spesifik dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mencerminkan betapa neoliberalisme menjadi landasan dari integrasi ekonomi regional khususnya di Asia Tenggara.
Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan AsiaTenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di BaliOktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para pe-mimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2
Dengan demikian, Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang ingin dicapai masyarakat ASEAN sebagaimana tercantum dalam Visi ASEAN 2020, di mana di dalamnya terdapat konvergensi kepentingan dari negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi. Sebuah perekonomian yang terbuka, berorientasi keluar, inklusif dan bertumpu pada kekuatan pasar merupakan prinsip dasar dalam upaya pembentukan komunitas ini. Berdasarkan cetak biru yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Sebuah kawasan yang sangat kompetitif; sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata; dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.3
Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu (1) pergerakan bebas barang; (2) pergerakan bebas jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Kelima elemen inti dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi ini dilengkapi lagi dengan dua komponen penting lainnya, yaitu sektor integrasi prioritas yang terdiri dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotife; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan kehutanan.4
Dalam konteks penciptaan perekonomian kawasan yang kompetitif, beragam langkah strategis telah ditetapkan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seperti pengembangan kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Begitu juga halnya dalam upaya transformasi ASEAN menuju sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, kesepakatan negara-negara di kawasan ini mengupayakan percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah serta perluasan Inisiatif Integrasi ASEAN (Initiative for ASEAN Integration) dalam rangka menjembatani jurang kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggotanya. Sementara itu, langkah-langkah menuju integrasi ekonomi Asia Tenggara ke dalam perekonomian global ditempuh melalui penerimaan suatu pendekatan yang koheren terhadap hubungan ekonomi eksternal, termasuk negosiasi dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi strategis. Cetak biru inilah yang melandasi pembangunan Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui langkah-langkah spesifik dengan periode waktu yang terperinci, di mana terciptanya suatu perekonomian kawasan yang terintegrasi atas dasar prinsip perekonomian pasar bebas dan terbuka menjadi cita-cita besar yang ingin dicapai.Tercermin dari beragam langkah-langkah strategis yang dicanangkan dalam cetak biru dan hakikat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu sendiri, neoliberal-isme sebagai metamorfosa paradigma liberal merupakan ruh yang mendasari gerak semangat dari terbentuknya komunitas ekonomi kawasan ini. Sebagai sebuah paradigma pembangunan ekonomi, neoliberalisme berasumsi bahwa entitas pasar merupakan aktor yang paling relevan dan efektif dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi didalam suatu negara. sebaliknya, mereka memandang bahwa intervensi negara dalam hal ini pemerintah terhadap perekonomian, melalui subsidi misalnya, merupakan hambatan yang mendistorsi berjalannya mekanisme pasar. Neoliberalisme mencuat sebagai sebuah paradigma pembangunan yang dominan pada tahun 1980-an dan 1990-an menggantikan paradigma Keynesian dalam pembangunan ekonomi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara berkembang. Neoliberalisme atau yang sering disebut juga sebagai “Washington Consen-sus”, dirancang sebagai respon terhadap persoalan ekonomi negara-negara Amerika Latin yang menerapkan paradigma Keynesian. Berdasarkan asumsi Keynesian, pembangunan di negara-negara ini diselenggarakan atas dasar peranan negara atau pemerintah yang sangat besar dalam bidang ekonomi, di mana kebijakan ekonomi pemerintah tersebut diarahkan kepada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran serta pemerataan distribusi pendapatan. Namun pada tahun1980-an, negara-negara di kawasan Amerika Latin mengalami defisit neraca pembayaran yang sangat besar. Krisis ekonomi ini diyakini oleh padangan neoliberal sebagai dampak dari kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan pemerintah yang tidak efisien dan langkah-langkah proteksionis yang diberlakukan pemerintah sehingga perusahaan swasta yang tidak efisien memaksa konsumen untuk membayar dengan harga mahal serta kebijakan moneter yang sangat longgar yang menyebabkan laju inflasi tidak terkendali.5
Kegagalan dari paradigma Keynesian ini kemudian memuculkan paradigma neoliberal untuk menggantikan posisinya sebagai paradigma dominan. Neoliberalisme memandang keynesian gagal karena paradigma ini tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada tahun 1980-an dan karena intervensi Negara dalam perekonomian tidak cukup mendisiplinkan sistem moneter dan perdagangan internasional. Terdapat tiga pilar utama paradigma neoliberal, yaitu disiplin fiscal.
Privatisasi dan liberalisasi pasar bebas. Kebijakan-kebijakan pembangunan dari paradigma ini didasarkan pada sebuah model sederhana ekonomi pasar,model ekuilibrium kompetitif, yang berakar pada prinsip “invinsible hand” AdamSmith yang diasumsikan bekerja dengan sempurna. Adapun asumsi-asumsi dasar dari paradigma ini antara lain adalah meletakkan pasar sebagai aktor atau pelaku utama dalam ekonomi; liberalisasi pasar dalam bentuk kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi dan modal tanpa adanya intervensi negara; menghilangkansemua pengeluaran negara untuk pemenuhan kebutuhan publik (public goods) atau meminimalisirnya secara bertahap; derregulasi semua kebijakan negara yang membatasi mekanisme pasar; privatisasi dengan menjual aset-aset negara kepada pasar. Neoliberalisme juga menjadi paradigma yang dianut oleh trinitas rezim ekonomi internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF, Bank Dunia dan World TradeOrganization (WTO).
Washington Consensus atau neoliberalisme menekankan pada penciptaan pertumbuhan ekonomi sebagai imperatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi dankemiskinan. Dalam pencapaian pertumbuhan tersebut, paradigma ini meletakkan prioritas pada pertambahan input kapital dan tenaga kerja semata-mata, di manafaktor kemajuan teknologi dipandang sebagai faktor eksogen dan mengabaikanfaktor-faktor di luar ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan.6
Melalui pertumbuhan ekonomi ini diyakini akan terjadi apa yang disebut sebagai trickledown effect, yakni efek penetesan ke bawah, dimana pertumbuhan ekonomi akan meneteskan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakatmiskin juga akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan ini.7
Nafas neoliberalisme terasa sangat kental sekali dalam proses integrasi eko-nomi di kawasan Asia Tenggara, di mana entitas pasar diagung-agungkan sebagai landasan gerak perekonomian. Beragam hambatan yang membatasi pergerakan pasar perlahan-lahan dihilangkan dalam upaya menuju terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kebebasan bergerak dari beragam faktor ekonomi menjadi intidari integrasi ekonomi ASEAN. Peranan pemerintah dalam perekonomian melalui proteksi yang menjelma dalam berbagai bentuk hambatan perdagangan, subsidi dan intervensi secara bertahap dihilangkan dalam proses integrasi ekonomi di ka-wasan Asia Tenggara ini. Namun demikian, fakta membuktikan bahwa entitas pasar tidak selamanya dapat bekerja dengan sempurna tanpa celah. Krisis secara periodik yang tanpa henti melanda dunia memperlihatkan dengan sangat jelas adanya kecacatan inheren yang melekat didalam tubuh entitas pasar. Hakikat dari pasar adalah peranan utama dari keberadaan harga relatif dalam keputusan alokatif. Pada dasarnya, pasar memiliki empat kegagalan mendasar yang menjadi landasan mengapa pada kenyataannya entitas ini tidak dapat berperan sebagai cara yang paling efektif dalam mengelola perekonomian.
Pertama, adanya “spillover” dari aktifitas ekonomi, dimana aktifitas salah satu aktor ekonomi dapat membawa dampak negatif bagi aktor lain, terutama misalnya dalam hal dampak lingkungan. Kedua, kecenderungan monopoli yang sangat besar dengan adanya peningkatan keuntungan dan biaya marginal darisalah satu pelaku ekonomi. Ketiga, kekakuan pasar dan kurangnya informasi yangdimiliki oleh informasi. Keempat, pasar tidak dapat menjamin adanya distribusi kesejahteraan yang merata.8
Terlebih dari itu, pengalaman integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak sepenuhnya melahirkan kisah sukses dimana setiap negara dapat menjadi pemenang didalamnya. Beberapa kasus integrasi ekonomi regional justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pembentukan Kesepakatan Perdagangan Bebas di Kawasan Amerika Utara (North American Free Trade Agreement – NAFTA) pada tahun 1994 mencerminkan pengalaman bagaimana integrasi ekonomi regional membawa dampak negatif bagi perekonomian salah satu negara yang terlibat didalamnya. Kesepakatan perdagangan bebas yang membukakan pintu perekonomian negara terkaya didunia Amerika Serikat kepada Meksiko ini merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar didunia pada saat itu, penduduk sebesar 376 juta dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$9 triliun.10
Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkan liberalisasi perdagangan dalam integrasi dikawasan ini tidak menemui realisasinya. Salah-satunya argumen penciptaan perdagangan bebas di kawasan Amerika Utara adalah untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraanterutama antara Amerika Serikat dan Meksiko serta untuk menekan laju imigrasiilegal.11
Akan tetapi, alih-alih terjadi perbaikan ekonomi, kesenjangan pendapatandi antara kedua negara selama satu dekade pertama NAFTA justru meningkat lebihdari 10 persen.12
Selama dekade pertama NAFTA, pertumbuhan ekonomi Mek-siko sangatlah suram, hanya sebesar 1,8 persen pada basis per kapita riil. Memang pada kenyataannya, lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian negara-negaraAmerika Latin lainnya, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomiyang dicapai Meksiko selama periode 1948-1973, angka pertumbuhan sebesar 1,8 persen sangatlah buruk, dimana pada periode tersebut angka pertumbuhan rata-rata mencapai 3,2 persen.13
Faktanya, NAFTA justru menjadikan Meksiko sema-kin tergantung kepada Amerika Serikat. Dengan kata lain, jika performa ekonomiAmerika Serikat memburuk, begitu juga halnya dengan yang akan dialami oleh Meksiko.14
Catatan Kaki :
1ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm, diakses pada tanggal 2Maret 2009, pukul 11:33 wib.
2ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, diak-ses pada tanggal 2 Maret 2009 pukul 11:45 wib.
3ASEAN Economic Community Blueprint http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib.
4ASEAN Economic Community Blueprint http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib.
5Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (London: Penguin Books, 2002), 53.
6Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 112-116.
7Robert Gilpin, Global Political Economy, 78.
8Robert Gilpin, Global Political Economy, 68.