Puluhan Massa Unjuk Rasa Tolak Kunjungan Komisi II DPR RI

Tribun Jogja - Selasa, 17 Juli 2012 15:31 WIB

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Sekolah Bersama (SEKBER), Selasa (17/7/2012) siang, melakukan unjuk rasa. Pasalnya, massa menolak kunjungan Komisi II DPR RI ke Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta. Puluhan orang tersebut sudah bersiaga di depan gerbang kampus yang terletak di Jl Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta sejak pagi hari. Begitu rombongan komisi II tiba mereka langsung menggelar orasi dan mimbar bebas. Mereka menuntut penghentian perampasan tanah terhadap para petani di Indonesia, menolak UU pengadaaan tanah, melaksanakan UU Pokok Agraria dan Kepres no 3 Tahun 1984.

Mereka juga menuntut penghentian perilaku represif aparat terhadap petani dan komisi II DPR RI harus bertanggung jawab terhadap konflik pertanahan. Selain itu, massa di aksi ini menuntut komisi II DPR RI meninjau langsung ke tempat konflik di Kulonprogo, bukan sekadar menemui pihak STPN yang mereka anggap perpanjangan tangan pemerintah bukan mewakili suara rakyat. Koordinator aksi, Fatur, mengatakan persoalan agraria merupakan maslah yang dihadapi oleh kaum tani di Indonesia. Banyak petani yang mendekam dipenjara atau bahakan kehilangan nyawa hanya untuk membela dan mempertahankan tanahnya. Seperti kasus tukijo di kulon progo adalah salah satu bukti bahwa aparat bersikap tidak adil terhadap rakyat kecil.

Kurma di Semarang Laris Manis Jelang Ramadhan



Semarang (ANTARA News) - Penjualan buah kurma di berbagai kios buah khas Timur Tengah ini di Kota Semarang, Jawa Tengah, terus mengalami peningkatan menjelang bulan Ramadhan 1433 Hijriah. Seperti dituturkan Kasmadi (57) penjual kurma di kawasan Kauman, Semarang, Rabu, penjualan kurma belakangan ini mengalami kenaikan mencapai 50 persen dibanding hari-hari biasa.

Kalau hari-hari biasa, kata dia, kurma yang terjual hanya sekitar lima kilogram/hari, namun sejak sepekan terakhir menjelang puasa penjualan kurma bisa mencapai 10 kg setiap harinya. "Omzet penjualan kurma sekarang ini mencapai Rp200 ribu/hari. Padahal, biasanya saya hanya mendapatkan omzet penjualan sekitar Rp100 ribu/hari," kata pedagang yang telah berdagang kurma sejak lima tahun lalu itu. Ia mengaku bahwa permintaan kurma pada tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu dilihat dari omzet, sebab omzet penjualan kurma yang diperoleh menjelang Ramadhan tahun lalu rata-rata Rp150 ribu/hari. "Lumayan, tahun ini memang sedang ramai. Banyak orang yang mencari kurma. Kalau tahun lalu memang tak seramai tahun ini," kata Kasmadi. Senada dengan itu, Luluk (23) pedagang kurma di kawasan yang sama mengatakan bahwa penjualan buah tersebut mengalami peningkatan pada masa menjelang Ramadhan, tingginya permintaan kira-kira sudah nampak sepekan lalu. "Omzet saya ya... naik, kira-kira kenaikannya 50 persen dibandingkan penjualan kurma di hari-hari biasa," katanya. Kalau pada hari biasa sanggup menjual kurma sekitar 10 kg/hari, kata dia, saat ini kurma yang terjual bisa mencapai 20 kg/hari. Apalagi, sejak tiga hari belakangan ini. Kenaikan permintaan atas kurma, kata dia, berdampak juga pada peningkatan harga kurma antara Rp2.000 hingga Rp5.000/kg untuk berbagai jenis kurma, misalnya kurma Lulu dari Rp30 ribu/kg menjadi Rp35 ribu/kg. (KR-ZLS/A035) 


Tolak Penambangan Pasir Besi, PPLP Geruduk DPRD DIY


YOGYA (KRjogja.com) - Ratusan masyarakat petani Kulon Progo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP KP) menggelar aksi di depan gedung DPRD DIY, Senin (9/7) siang. Sebelumnya, demonstran dari kantor Polda DIY mengendarai motor menuju gedung dewan dengan mata tertutup.

Koordinator aksi, Widodo menuturkan, rangkaian aksi ini merupakan bentuk penolakan petani lahan pantai Kulon Progo terhadap proyek pasir besi. Warga juga menuntut sertifikasi tanah Swapraja (tanah Pakualaman Ground) menjadi tanah petani.

"Tanah ini menurut pemahaman pemerintah dan investor diklaim sebagai milik pakualaman ground. Padahal, warga telah memiliki hak atas tanah serta usaha keras puluhan tahun menciptakan lahan kritis menjadi lahan subur pangan," tuturnya.

Sementara, aksi tutup mata tersebut dilakukan sebagai simbol yang menggambarkan pemimpin saat ini tidak perlu memakai mata tetapi hati nurani. "Kami menolak Perda nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW di Kulon Progo yang merugikan dan merebut hak petani dan hak kami sebagai rakyat," ungkapnya.

Kedatangan massa ke gedung dewan, lanjutnya, adalah untuk menuntut birokrasi dari pihak dewan untuk memfasilitasi kemudahan sertifikasi tanah milik petani. "Kami juga tetap tegas menolak proyek tambang pasir besi dan akan terus berjuang menolak penambangan. Kami meminta dukungan dewan sebagai representasi perwakilan rakyat," tandasnya. (Aie)

MATA DITUTUP: TokohPPLP Ajikoesoemo mengendarai sepeda motor dengan mata ditutup ''

MATA DITUTUP: Tokoh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo, Ajikoesoemo mengendarai sepeda motor dengan mata dan wajah ditutup kain hitam dalam aksi “Melihat rakyat dengan Hati” dari Mapolda DIY di jalan Lingkar Utara hingga DPRD Provinsi DIY di jalan Malioboro. Jogja, Senin (9/7). Aksi ala Limbad ini mendapingi penyerahan dan peluncuran buku berjudul Pembelaan Tanah untuk Rakyat “Jogja Gate” Penghianatan terhadap HB IX dan PA VIII. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto/rsj)

Hari Ini Warga PPLP Geruduk DPRD DIY


KULONPROGO—Ratusan warga Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo direncakanan menggelar aksi demonstrasi di DPRD DIY, hari ini, Senin (9/7). Mereka tetap konsisten menolak penambangan pasir besi di atas tanah rakyat.

Dihubungi Minggu (8/7) sore, salah satu pengurus PPLP, Widodo mengungkapkan mereka bakal bertolak dari Kulonprogo sekitar pukul 09.00 WIB dengan menumpang puluhan kendaraan.” Sampai di sana kami langsung menggelar aksi,” ujarnya.

Dalam aksi kali ini, masyarakat PPLP tetap menyuarakan penolakkan mereka atas penambangan pasir besi karena dianggap bisa merampas tanah rakyat yang selama ini telah mereka garap. “Selain itu kami juga menuntut sertifikasi tanah dan pencabutan Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah,” tambah dia.

Menurut Widodo, semestinya berdasarkan UU Pokok Agraria (UUPA) warga pesisir berhak mengelola tanah yang sudah bertahun-tahun mereka garap tersebut. Ia juga membantah kalau selama ini tanah pesisir tidak memberikan manfaat untuk pembangunan karena tandus.

“Selama ini warga dengan jerih payahnya sudah berhasil membuat tanah tersebut bisa menghasilkan berbagai komoditas pertanian. Kalau nanti dijadikan areal pasir besi, berarti warga akan kehilangan mata pencaharian mereka,” lanjut dia.

Dalam aksi kali ini, menurut Widido, warga PPLP mengharapkan agar para wakil rakyat tidak menutup telinga dan menerima serta memperjuangkan aspirasi tersebut.” Kami ingin mereka [wakil rakyat] mendengarkan jerit rakyat,” tambah dia.

Terkait rencana kunjungan anggota Komnas HAM ke wilayah pesisir selatan Kulonprogo, Widodo mengatakan pihaknya akan menerima dengan tangan terbuka.” Intinya kami akan selalu menerima tamu yang datang, asalkan membawa aspirasi untuk menolak pertambangan yang bakal menggusur lahan rakyat,” ujarnya.

Terpisah, Wakil Ketua Repdem Kulonprogo, Andi Kartala mengaku sudah mendengar rencana tersebut. Menurut dia, para aktivitas yang tergabung dalam simpul Repdem bakal turut mendampingi warga PPLP dalam aksi tersebut.

Anggota PPLP Nyanyi Iwak Peyek Di DPRD DIY


JOGJA–Ribuan anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo DIY berunjuk rasa menolak tambang pasir besi di kantor DPRD DIY, Senin (9/7).
Mereka membawa spanduk penolakan tambang dan menginginkan tanah untuk rakyat. Massa datang ke DPRD diangkut 30 truk dan sebagian menggunakan sepeda motor.
Tokoh PPLP, Adjikoesoemo menjelaskan, tanah DIY adalah bagian dari Belanda. Seharusnya tanah yang saat ini tidak jelas statusnya dikembalikan rakyat. Saat ini tanah-tanah itu diklaim dengan nama Sultan Ground ataupun Paku alam Ground.
“Sesuai Perda Nomor 5 Tahun 1954 pasal 10 mengatakan bahwa yang pakai tanah turun temurun jadi hak milik. Kalau dikatakan bahwa Kasultanan dan Pakualaman masih punya tanah SG-PAG adalah kebohongan publik,” jelasnya, Senin (9/7).
Massa sempat menyanyikan sejumlah lagu sindiran, salah satunya Iwak Peyek. Unjuk rasa berjalan tertib hingga pukul 13.00 WIB massa membubarkan diri dengan berjalan kaki di sepanjang Jalan Maliioboro. (ali)

Desain


Desain