Perampasan lahan yang dilakukan pemilik modal dan rezim penguasa terus melakukan privatisasi terhadap tanah-tanah rakyat terus saja terjadi disegala-lini kehidupan petani yang ada diindonesia. Bagaimana tidak petani yang harus dipisahkan dari alat produksinya seolah-olah telah menjadi fenomena yang pantas untuk dipertontonkan. Meskipun transisi pemerintahan hari ini baru saja digulirkan. Tapi, percayalah ini tidak akan merubah atas sistem yang berlaku diindonesia (kapitalisme). Tiada yang bisa menjamin bahwa berdirinya rezim yang baru akan mampu menyelesaikan persoalan konflik agraria yang ada diindonesia.
Mengutip beberapa istilah menyatakan “Bumi adalah Ibu, Langit adalah Bapak, Perjuangan terhadap Bumi / Tanah adalah perjuangan suci yang pasti didukung alam semesta” (Sambirejo, 3 September 2013). Kecamatan Sambirejo yang berlokasi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Latar Belakang sejarah yang kelam dan memilukan perlahan mulai terang oleh perjuangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat Sambirejo adalah salah satu bagian masyarakat yang mendapatkan secara langsung manfaat positif kebijakan land reform era-Soekarno. Namun, nasib cerah tak berlangsung lama. Ketika, tragedi 1965 meletus. Warga dirampas tanahnya dengan berbagai modus. Modus utamanya adalah dengan merampas langsung tanah warga demi ketersediaan lahan PTPN yang digencarkan pada era awal Soeharto (Orde Baru). Warga yang menolak menyerahkan tanahnya dituduh sebagai PKI dan terancam dihilangkan paksa. Beberapa warga Sambirejo yang mempertahankan tanah dan bangunan tak luput dari aksi penculikan, dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dihilangkan paksa dan dibunuh secara keji.1
Konflik Agraria di Sragen Berlangsung Sejak 1965
Konflik Agraria di Kabupaten Sragen sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Tepatnya sejak tahun 1965 dengan luas areal konflik 425 hektar. Lahan milik warga itu dirampas oleh PTPN IX dengan menggunakan isu PKI. Konflik agraria terjadi antara warga delapan desa di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen dengan PTPN IX. Desa-desa dimaksud antara lain, Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. Selama puluhan tahun tidak ada perkembangan yang berarti atas kasus konflik agraria ini. Pada tanggal 18 Maret 2014 dilakukan mediasi kedua belah pihak oleh Pemkab Sragen. Dihadiri juga oleh pejabat-pejabat terkait. Anehnya, beberapa saat setelah mediasi, PTPN IX malah mengerahkan 5.000 lebih karyawannya untuk melakukan pendudukan lahan, yang selama ini telah dikuasai dan digarap warga. Tentu saja langkah PTPN IX memicu ketegangan. Terjadilah kericuhan antara warga dengan ribuan “pasukan keamanan” perkebunan milik negara itu. Ujung-ujungnya, terjadilah itu penangkapan tiga orang petani oleh Polda Jawa Tengah sejak 22 Maret 2014. Mundur ke belakang, tepatnya tahun 2000, warga mulai memperjuangkan hak atas tanah mereka. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menemui pejabat desa, provinsi, DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri. Atas upaya tersebut, pada tanggal 15 Januari 2005 DPR RI membentuk Pansus Pertanahan yang diketuai oleh Nyoman Gunawan. Sayang, hingga kini kerja pansus tak tuntas. Pada 30 Desember 2008 Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IX habis masa berlakunya. Lalu warga beramai-ramai merebut kembali tanah mereka dengan menanaminya tanaman coklat, jagung, pisang, kacang dan kayu-kayuan (kayu mahoni, jati dan sengon). Sayang beribu sayang, BPN RI ternyata mengabulkan perpanjangan HGU PTPN IX dengan total luasan 251 hektar. Sisanya belum diterbitkan. Lalu pada tahun 2012, warga petani yang tergabung dalam Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) menuntut kejelasan kepada BPN RI atas status tanah mereka. Pada tanggal 4 September 2013 dimulai pemetaan wilayah konflik agraria yang dilakukan warga bersama-sama dengan Kanwil BPN Jawa Tengah, Kantor Pertanahan Kabupaten Sragen, Pemda Sragen, Dinas Perkebunan (provinsi dan kota), Dinas Kehutanan (provinsi dan kota), KPA dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Anehnya, PTPN IX justru terus melakukan provokasi terhadap warga. Mereka diduga melakukan perusakan tanaman warga, dan menghalang-halangi produksi pertanian warga, Kepolisian setempat juga diduga mengintimidasi warga dengan melakukan pemanggilan secara terus-menerus terhadap salah satu warga yang bernama Sis Sariman. “Kenyataan inilah yang kemudian memicu benturan antara warga dengan pihak keamanan PTPN IX yang berujung pada penangkapan ketiga petani anggota FPKKS,” terang Iwan.
Konflik Agraria yang berujung Penangkapan Petani
Seperti sudah menjadi “tradisi” kalau konflik agraria di negeri ini berujung pada penangkapan petani, seperti kasus konflik agraria di Sragen ini. Penangkapan petani Kecamatan Sambirejo ini cukup unik. Mengapa? Karena mereka justru adalah orang-orang yang mencoba melerai pertikaian antara warga petani versus ribuan karyawan PTPN IX. Polres Sragen memangil tiga orang petani itu untuk dimintai keterangan soal kericuhan tadi. Usai memberikan keterangan, Polisi tanpa dasar yang jelas menetapkan mereka sebagai tersangka dengan tuduhan telah melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN IX) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP dan Pasal 406 KHUP. konflik agraria berujung pada penangkapan tiga orang petani Sragen, Jawa Tengah. Ironis, ketiganya justru yang melerai kericuhan antara warga petani dengan 5000 karyawan PTPN IX. “Pada tanggal 22 Maret 2014, Polres Sragen memangil beberapa warga, yaitu Sunarji, Sarjimin dan Suparno untuk dimintai keterangan mengenai kericuhan yang terjadi antara warga dan karyawan PTPN IX. Setelah memberikan keterangan, tiba-tiba tanpa dasar yang jelas pihak Kepolisian menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” terang Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (27/03). Ketiganya dikenai tuduhan melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP serta 406 KHUP. Divonis satu setengah tahun dipenjarakan.
Konflik Agraria di Sragen & Isu PKI
Menurut Iwan, sudah sejak lama, PTPN IX memang hendak memperluas areal usahanya dengan menyewa lahan warga. Namun, rencana itu terbentur oleh penolakan dan SK yang dipegang warga yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Jawa Tengah (KINAD) pada 4 Januari 1964. “Warga yang sudah memiliki tanah secara sah berdasarkan SK No.2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164 tidak pernah memberikan tanah tersebut untuk disewa oleh PTPN,” terang Iwan. Kemudian meletuslah Gestok 1965. Pada masa itu, semua tahu, yang menentang kebijakan pemerintah Orde Baru bisa kena tuduhan sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Nah, PTPN IX diduga memanfaatkan “momentum” ini dengan menyebarkan isu bahwa semua warga yang mempertahankan tanahnya adalah anggota PKI. Sukses. Lahan warga kemudian dengan mudahnya dirampas oleh PTPN IX. Perusahan perkebunan negara itu lalu mengganti semua tanaman menjadi tanaman karet. “Sampai sekarang korban penggusuran yang terjadi sejak 1965 lalu masih menumpang di rumah keluarga dan kerabat lainnya,” ujar Iwan.
Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria
KPA tentu prihatin dengan konflik agraria yang sudah berlarut-larut ini. KPA meminta polisi segera membebaskan petani yang ditahan dan memulihkan nama baik mereka. KPA juga menuntut kepolisian menghentikan cara-cara kekerasan, kriminalisasi dan tindakan represif terhadap warga dan dalam menangani konflik agraria. “Menuntut para pihak terkait dalam persoalan kasus tanah Sambirejo segera mengembalikan penguasaan dan penggarapan tanah seluas 425 ha kepada warga di delapan desa di Kecamatan Sambirejo. BPN RIjuga diminta segera mencabut HGU PTPN IX di Sambirejo,” tegas Iwan.“Pentingnya penyelesaian konflik-konflik agraria yang terjadi di negeri ini secara tuntas dan menyeluruh dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia,” tegas Iwan lagi (PENTING: Di Mana Ada Konflik Agraria, di Situ Ada Korupsi Pertanahan ?). Pada tanggal 22 Maret 2014, Polres Sragen memangil beberapa warga, yaitu Sunarji, Sarjimin dan Suparno untuk dimintai keterangan mengenai kericuhan yang terjadi antara warga dan karyawan PTPN IX. Setelah memberikan keterangan, tiba-tiba tanpa dasar yang jelas pihak Kepolisian menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” terang Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (27/03). Ketiganya dikenai tuduhan melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP serta 406 KHUP.
Catatan Kaki :
1.http://www.kpa.or.id/?p=2298
2http://suaraagraria.com/detail-20240-konflik-agraria-di-sragen-berujung-penangkapan-tiga-petani.html#.VAi2DMKSwhM
1 komentar:
Jangan dipotong ceritanya, tgl 2 maret narji dkk nebang 5 000 batang pohon karet milik negara. Polisi nangkap narjo krn itu.
Posting Komentar