Pernyataan Sikap Penolakan Penambangan Rembang



Pada 20 Mei 2014 sudah diadakan istighosah (do’a bersama) di tapak pabrik Semen Indonesia, hutan Perhutani KPH Mantingan, Rembang. Dalam istighosah ini warga dari 8 Desa (Suntri, Tegaldowo, Bitingan, Dowan, Timbrangan, Pasucen, Kajar, dan Tambakselo) sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang.

Istighosah ini kemudian diikuti oleh halaqoh (pertemuan) di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang pada 25 Mei 2014 yang dihadiri oleh berbagai organsisasi, yaitu: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Rembang, PC NU Lasem, Pondok Pesantren Ngadipurwo Blora, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA).

Halaqoh ini sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang dengan alasan sebagai berikut:


1. Bukti-bukti lapangan mutakhir seperti ditemukannya ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua, semakin menguatkan keyakinan bahwa kawasan karst Watuputih harus dilindungi. Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil air dari gunung Watuputih.

2. Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah sekitar, karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya, matinya sumber mata air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Pada ujungnya, semua hal ini akan melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.

3. Ketidaktransparanan dan ketidakadilan yang terjadi di lapangan saat ini telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak rakyat atas informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen. Ketidaktransparanan dan ketidakadilan ini muncul dalam proses penyusunan Amdal, kebohongan publik dengan menggeneralisir bahwa seluruh masyarakat setuju dengan pembangunan pabrik semen, dan tidak adanya partisipasi masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini.

4. Penggunaan daerah ini sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

5. Adanya indikasi gratifikasi dalam proses keluarnya ijin yang begitu mudah meskipun ada pelanggaran yang nyata.

6. Melanggar prinsip kaidah fikih “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih”, bahwa kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen lebih besar daripada kemanfaatannya.

Rembang, 25 Mei 2014

Kami yang bertandatangan di bawah ini, antara lain:

1. K.H. A. Mustofa Bisri
2. K.H. Yahya Staquf
3. K.H. Zaim Ahmad Ma’sum
4. K.H. Syihabuddin Ahmad Ma’sum
5. K.H. Imam Baehaqi
6. K.H. Ubaidillah Ahmad
7. Ming Ming Lukiarti (JMPPK)
8. Roy Murtadho dan Bosman Batubara (FNKSDA)

Organisasi Pendukung: JMPPK, PC NU Rembang, PC NU Lasem, Roudlatul Tolibin , Pondok Pesantren Pondok Pesantren Ngadipurwo Blora, FNKSDA. http://islambergerak.com/2014/05/pernyataan-sikap-penolakan-penambangan-dan-pendirian-pabrik-semen-di-rembang/

Kronologi Penyiksaan atas Erwiana Sulistyaningsih (TKW Hongkong)



 Kronologi menurut penuturan Erwiana Sulistyaningsih

- Korban berangkat ke Hong Kong melalui jasa PT Graha Ayu Karsa yang memiliki kantor cabang di Ponorogo. Terbang ke Hong Kong pada Mei 2013 setelah sebelumnya menunggu proses pemberangkatan selama delapan bulan di penampungan. Tiga bulan di kantor cabang Ponorogo, dan lima bulan di kantor pusat tanggerang.

- Sejak pertama kali masuk ke tempat majikannya bekerja, korban sudah mencium gelagat kekerasan setiap hari. Setiap kesalahan selalu diselesaikan dengan hukuman kekerasan. Jika yang salah tangannya, yang dipukul tangannya, jika yang salah telinga, maka yang menjadi sasaran pemukulan adalah telinga.

- Rumah tempat dia bekerja dihuni oleh tiga orang saja yaitu; nyonya (majikan perempuan) dan kedua anaknya yang sudah remaja. Majikan laki-laki tidak pernah kelihatan. Nyonya majikan menurut korban adalah tipikalnya aneh, seperti memiliki penyimpangan kepribadian. Menuntut kesempurnaan yang tidak masuk akal, tidak punya perasaan dan mudah sekali melakukan kekerasan.

- Saat sebulan pertama korban bekerja di rumah tersebut, korban pernah sekali melarikan diri dengan pertolongan security gedung untuk mengadukan kondisinya ke agen. Di agen, korban dimediasi dengan majikan dan akhirnya kembali lagi ke rumah majikan. Sekembali ke rumah majikan, keadaan tetap tidak berubah.

- Lebih parah lagi, saat kulit telapak kaki dan tangan korban mengalami pecah pecah akibat alergi dingin (musim dingin), majikan sama sekali tidak ada inisiatif untuk membawanya pergi berobat ke praktek dokter/rumah sakit. Hal tersebut membuat luka di telapak tangan dan kaki menimbulkan bau tidak sedap, dan bau tidak sedap tersebut menjadi biang bertambah parahnya penyiksaan terhadap korban.

- Tidak sedap di kaki, kaki langsung dipukul, tidak sedap di tangan, tangan langsung dipukul dengan apa saja terkadang gagang sapu, tongkat untuk menaik turunkan jemuran, gagang vacuum cleaner lantai.

- Terhadap luka tersebut, majikan memperlakukan korban dengan menutup rapat-rapat kaki dan tangannya agar tidak mengeluarkan bau. Namun perlakuan ini justru membuat luka korban menjadi semakin parah, bahkan infeksi.

- Jam kerja korban selama bekerja di rumah tersebut sebanyak 21 jam, dengan waktu istirahat 3 jam saja selama 24 jam. Asupan makanan yang diberikan jauh dari cukup, bahkan menurut korban sangat kurang. Hal ini menurut korban membuat korban pernah sekali dengan terpaksa mencuri makanan lantaran kelaparan. Peristiwa mencuri makanan tersebut berbuntut pada penyiksaan yang lebih menyakitkan lagi.
- Selama bekerja di rumah tersebut, korban belum pernah sama sekali menerima hak dia berupa gaji, jatah libur dan perlakuan yang layak. Korban pernah mempertanyakan hal tersebut, dan oleh majikan dijawab nanti saja kalau sudah habis masa kontrak seluruhnya akan dibayar, supaya bisa terkumpul. Korban hanya menurut saja.

- Saat korban akan dipulangkan dengan tiba-tiba, dia diantar ke bandara oleh majikannya, dibelikan tiket kemudian didampingi sampai dengan benar-benar masuk ke dalam ruang tunggu setelah melakukan check in.

- Majikan berpesan kepada korban agar jangan mendekat ke kerumunan orang, jangan mau berbicara dengan orang lain, jangan menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Kalau ada orang yang bertanya jawab dengan tidak tahu.

- Majikan mengancam korban, jika selama di perjalanan sampai dengan di rmah, korban bercerita macam-macam kepada siapapun, majikan korban dengan jaringannya akan membunuh kedua orang tua korban. Karena ancaman inilah korban mengaku sangat ketakutan saat bertemu dengan saksi Rian dari ATKI yang bertanya tentang kondisinya.

- Saat bertemu saksi Rian, korban hanya membawa baju yang menempel di badan, sebuah tas jinjing kecil serta uang pecahan 100 ribu rupiah.

Save Erwiana
By Vanguard

Natuna diKlaim


17.499 pulau yang dimiliki Indonesia. Terdapat 92 pulau terluar dan 12 pulau diantaranya merupakan pulau-pulau strategis yang tersebar disepanjang perbatasan dengan negara tetangga. Salah-satunya Natuna yang terletak diantara Semenanjung Malaka dan Pulau Kalimantan. Mencakup Areal 4.165 KM Persegi dengan kedalaman 145 M, utara Vietnam dan barat daya China. Serta, memiliki cadangan Gas terbesar diindonesia yang mencapai 46 Triliun Kubik (Blok D Alpha) dengan jangka panjang bisa digunakan hingga 50 tahun kedepan. Posisi strategis yang terletak digaris Kontinen utara laut Natuna khususnya Blok D Alpha yang sangat dekat dengan perbatasan Vietnam, juga Filiphina. Telah menjadi isu klaim baru terhadap Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang telah mengklaim wilayah perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau kedalam peta wilayah RRT. Klaim sepihak ini terkait sengketa Kepulauan Spratly dan Paracel antara Tiongkok dan Filipina dengan melakukan penggambaran peta sebagian perairan Natuna di wilayah Laut Tiongkok Selatan masuk ke peta wilayahnya dengan sembilan dash line atau garis terputus. Bahkan dalam paspor terbaru milik warga Tiongkok juga sudah dicantumkan. Namun, sayangnya dimeja internasional diplomasi antar Negara khususnya pada Indonesia. Tiongkok tidak mau berterus terang terhadap koordinat mana yang masuk wilayah mereka. Tentunya, diharapkan parlemen pemerintahan Indonesia untuk lebih tegas atas perlindungan Sumber Daya Alam Indonesia yang nantinya tidak berakibat fatal. Misalnya pada Sipadan Lingitan yang lepas dari NKRI ke tangan Malaysia.



Apa Kabar Masyarakat Embung ?

Perjalanan suasana KKN Temuwuh Kidul, Balecatur Sleman Yogyakarta yang diterjunkan pada tanggal 20 Mei - 21 Juni 2014 ditarik kembali. Banyak cerita dan catatan kecil yang tertuliskan oleh fikiran sang penulis yang juga ikut serta dalam agenda tersebut. Satu hal yang tidak kalah penting dalam keseharian kita sering bertatap-muka dan bersama. Ada yang Cinlok (Cinta Lokasi) di KKN. Selebihnya ada yang memperebutkan satu wanita dan ada yang mengalami duka-cita. Ketika, KKN berlangsung. Selebihnya ada juga problematika dengan masyarakat yang tumpah-tindih kemauannya dengan Tema yang kita usungkan di KKN yakni "wisata air" (Embung). Syukurnya program kita berjalan dengan sedikit mengalami persoalan terkait embung yang hanya tempat parkir pemancingan yang kita bisa bangun. Berawal kita ingin membangun WC dan kamar mandi. Sayangnya kita tidak memiliki dana yang lebih untuk program tersebut. Maklum, dari kampus hanya mampu memberikan dana 1 juta lebih. Sedangkan dana yang kita gunakan lebih dari itu.

Apapun alasannya hari-hari bersama itu berlalu. Sekarang hanya tinggal seutas kenangan yang tidak bisa dilupakan yang sepaling tidak menjadi catatan sang penulis didiaryku. Semoga nilai yang kami harapkan memuaskan dan tidak mengecewakan atas apa yang kami programkan. Termasuk juga anak-anak TK Aisiyah Temuwuh Kidul beserta Anak-anak TK yang menggemaskan dan tak lupa tenaga pengajarnya. Mereka luar biasa. Buat warga tidak kalah penting dengan tenaga dan support yang diberikan tidak akan pernah dilupan oleh kami ketika kembali (Kampus).

Thanks untuk semuanya....

Buat Ojan, Febri, Feri, Bondan, Tyra, Ummi, Robi'ah, Diana, Yoga, Mirsad, Fajar, Lutfi, Sofyan, Fatimah, dan lain-lain. Thanks buat kalian....

By SONA


The Act Of Killing

Sebuah film mengenai gejolak pada tahun 1965 di Indonesia yang dihadirkan dilaga perfilman Indonesia. Film dokumenter sejarah kelas peristiwa G30s. Disutradarai oleh Joshua Oppen Heimer warga Negara Amerika. Mengapa penulis ingin mengangkat film tersebut. Dikarenakan film ini mengandung paradigma maupun opini yang berkembang dimasyarakat atas fakta yang telah diangkat pada naskah film tersebut. Secara synopsis yang diangkat pada film tersebut bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop. Mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Ditahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

Setelah itu Dalam Jagal dikatakan, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada kami. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Kami menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah. Kemudian, Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri. Selengkapnya bisa di tonton pada fim Jagal (The Act Of Killing).

Melihat semakin komplitnya deskripsi sinopsi yang diangkat oleh jagal. Maka, penulis ingin mengklarifikasi ulang terhadap skema perfilman yang dibungkus sedemikian rupa. Kemudian, dituangkan dalam bentuk video. Kemudian menghasilkan paradigm dan opini yan berbeda terkait fakta yang ada pada film tersebut. Memang kejadian 65-66 menjadikan saksi bisu yang belum bias diungkap secara detail konkrit kebenarannya. Namun, penulis percaya bahwa Kader-kader PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi korban politik berdarah pada waktu itu. Banyak referensi buku yang menjadi alasan penulis ingin mengangkat kasus ini kembali. Namun, dilain sisi penulis lebih dekat dengan analisa film (Filmologi). Berbeda dengan pemikir yang mungkin menggunakan konsepsi sosiologi dan politik dalam menganalisa kebenaran kejadian tersebut.

Belum lagi persoalannya lainnya. Bahwa perusahaan yang melakukan produksi film tersebut dituntut oleh pihak-pihak terkait. Film The Act of Killing adalah bagian dari penelitian pascadoctoral Joshua Oppenheimer  di Central Saint Martins College of Art and Design, University of The Arts London. Sebagian pendanaannya berasal dari Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris. Film dokumenter tentang pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di Sumatera Utara, sekitar tahun 1965. Memuat sudut pandang pelaku yang tercitrakan sebagai sosok pembunuh berdarah dingin. Pemuda Pancasila akan menggugat sang sutradara.

Berikut petikan wawancara lewat surat elektronik antara Averoes Lubis dari GATRA dengan Joshua Oppenheimer:

Film ini sekurangnya membawa pesan bahwa kita tidak mudah menyebut diri kita orang baik dan para pembunuh itu orang jahat, hanya karena menganggap diri kita sangat berbeda dari mereka. Mereka adalah psikopat, atau monster, sementara kita bukan. Kita bisa memberi label apa saja kepada orang lain, tapi itu tidak akan membuat kita menjadi lebih baik.

Dan satu-satunya hal yang benar-benar kita ketahui tentang manusia yang membunuh manusia lain adalah bahwa mereka juga manusia. Seperti kita. Anwar Congo adalah seorang manusia, juga orang yang memberinya perintah untuk membunuh, bahkan Hitler sekalipun juga manusia. Kita semua adalah manusia yang bisa salah mengambil keputusan karena kita melihat dunia (kadang tanpa disadari) dengan cara yang salah.

Tidak mudah bagi kita, sebetulnya, membedakan antara yang fiksi dan yang nyata. Kita seringkali tidak tahu yang nyata itu yang mana. Dalam kesulitan ini, setiap hari, kita harus mengambil keputusan dan bertindak atas keputusan itu. Kita bisa memilih untuk terus hidup dalam fantasi yang nyaman, sampai suatu saat terantuk bahkan terbentur realitas. Atau kita bisa terus-menerus mempertanyakan apa yang kita lihat dan apa yang kita pahami selama ini sebelum kita meyakinkan diri sendiri bahwa kita bukan orang jahat.

Akhirnya, ada perbedaan nyata antara lupa, tidak tahu, dan tidak peduli. Dan kita harus terus-menerus melawan ketiganya.

Terima kasih dan salam hormat,
Joshua Oppenheimer

(versi yang lebih singkat ada pada majalah Gatra, 10 Oktober 2012).

Demikiian persepsi yang bisa penulis jabarkan mengenai Filmologi The Art Of killing. Setidaknya menjadi penelitian yang berkelanjutan dan perlu untuk didiskusikan diruang-ruang yang ilmiah khususnya analisa filmologi.