Revolusi, Revolusi dan Revolusi (Fidel Castro)


Jangan tanamkan sebuah keraguan dengan identitas ideologimu. Karena yang terpenting adalah tekadkan dengan bulat bahwa hati nurani dan kesetiaanmu telah menyatu dengan WTT, PPLP, HITAMBARA dan FKKSP. Mengapa demikian ? Disanalah letak prioritas ideologimu bersandar dengan memotivasi kepeloporan terus-menerus melakukan proses gebrakan yang tiada-henti.


Memang perjuangan tidak akan pernah memberikan kalian uluran uang. Namun, percayalah kehidupan manusia dimuka bumi hanya melengkapi tuntutan sejarah untuk melawan segala bentuk kontradiksi yang terjadi yaitu penindasan dan penghisapan klas borjuasi terhadap proletariat yang kian menjadi- jadi yaitu kapitalisme VS sosialisme.


Rezim SBY-Boediono memang sudah ditransisikan. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa sistem negara kita hari ini masih disetir oleh negara imperialis yakni Amerika Serikat. Apa-apa Amerika, Pensiunanpun kalo perlu ke Amerika. Serta, itulah kondisi fakta bahwa negara kita hari ini benar-benar berafiliasi dengan negara adidaya tersebut yakni Amerika Serikat beserta sekutunya. Kemudian, seberapa banyak borjuasi nasional yang hari ini telah berselingkuh dengan transisi rezim yang baru. Kemudian, tidak hanya itu bahwa pemilik modal asing telah menanti ingin melanjutkan tradisi lama yaitu tetap memberikan hutang kepada bayi yang baru lahir diindonesia. Selebihnya disinilah ideologimu akan teruji bila memang kalian masih setia dan percaya dengan Asas Kedaulatan Rakyatlah yang nantinya mampu melakukan sebuah Revolusi yang sebenarnya.


Hari demi hari yang akan datang kita akan disuguhkan untuk menolak bias kebijakan MP3EI dan MEA yang sebentar lagi akan digulirkan. Tentu, dengan situasi yang makin terdesak oleh perang dingin dan ideologi yang mematikan ini membutuhkan keluh keringat kalian yang harus dipertaruhkan oleh waktu, siang-malam, pasang-surut, Maju-mundur. Bahkan kalo tiarappun berharap Asas Kedaulatan Rakyat tetap akan tertanam dimasing-masing kepala yang sadar akan ketertindasan manusia yang satu dengan yang lainnya. Ingatlah bangsa kita hari ini dalam kondisi penjajahan alias kolonialis yang getir menggerus kekayaan negara yang seharusnya tidak menghilangkan kepemilikan Tanah terhadap Rakyat. Hidup Rakyat yang Melawan. 

"My Love Intelectual Progress and Revolusionary, My Love Organization Sekber and My Love Ideology Kedaulatan Rakyat".

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015

Jika tidak ada aral melintang, tepat pada tanggal 1 januari 2015 bangsa-bangsa dikawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan memasuki era baru dalam hubungan perekonomian khususnya perdagangan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara dikawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas teritorial negaranya dalam satu pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian dikawasan Asia setelah China. Semua industry akan berkompetisi secara bebas tanpa ada ketentuan hukum yang mengikat. Baik hubungan bilateral maupun multilateral antar Negara. 
Berangkat pada sebuah posisi pemikiran bahwa percobaan neoliberalisme akan selalu berujung pada keterpurukan ekonomi. Makalah ini berupaya untuk membongkar faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya langkah-langkah atau upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian secara substantif dan riil guna menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN ditahun 2015. Fakta historis mengungkapkan bahwa implementasi pilar-pilar neo-liberalisme telah berhasil membuahkan persoalan-persoalan mendasar bagi per-ekonomian negara-negara di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, pengangguran,kesenjangan dan de-industrialisasi, menjadi warna dominan yang melekat dalam implementasi neoliberalisme. Bahkan episode krisis menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dari perekonomian global yang berjalan atas dasar aturan main neoliberal. Sementara itu, langkah dan komitmen negara-negara Asia Tenggara semakin kuat menuju terwujudnya sebuah agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Prinsip-prinsip dasar neoliberalisme dalam wujud liberalisasi, privatisasi dan derregulasi, menjadi roh dari terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Langkah-langkah implementasi strategis dengan tahapan yang spesifik dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mencerminkan betapa neoliberalisme menjadi landasan dari integrasi ekonomi regional khususnya di Asia Tenggara.
Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan AsiaTenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di BaliOktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para pe-mimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2
Dengan demikian, Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang ingin dicapai masyarakat ASEAN sebagaimana tercantum dalam Visi ASEAN 2020, di mana di dalamnya terdapat konvergensi kepentingan dari negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi. Sebuah perekonomian yang terbuka, berorientasi keluar, inklusif dan bertumpu pada kekuatan pasar merupakan prinsip dasar dalam upaya pembentukan komunitas ini. Berdasarkan cetak biru yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Sebuah kawasan yang sangat kompetitif; sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata; dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.3
Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu (1) pergerakan bebas barang; (2) pergerakan bebas jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Kelima elemen inti dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi ini dilengkapi lagi dengan dua komponen penting lainnya, yaitu sektor integrasi prioritas yang terdiri dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotife; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan kehutanan.4
Dalam konteks penciptaan perekonomian kawasan yang kompetitif, beragam langkah strategis telah ditetapkan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seperti pengembangan kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Begitu juga halnya dalam upaya transformasi ASEAN menuju sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, kesepakatan negara-negara di kawasan ini mengupayakan percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah serta perluasan Inisiatif Integrasi ASEAN (Initiative for ASEAN Integration) dalam rangka menjembatani jurang kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggotanya. Sementara itu, langkah-langkah menuju integrasi ekonomi Asia Tenggara ke dalam perekonomian global ditempuh melalui penerimaan suatu pendekatan yang koheren terhadap hubungan ekonomi eksternal, termasuk negosiasi dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi strategis. Cetak biru inilah yang melandasi pembangunan Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui langkah-langkah spesifik dengan periode waktu yang terperinci, di mana terciptanya suatu perekonomian kawasan yang terintegrasi atas dasar prinsip perekonomian pasar bebas dan terbuka menjadi cita-cita besar yang ingin dicapai.Tercermin dari beragam langkah-langkah strategis yang dicanangkan dalam cetak biru dan hakikat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu sendiri, neoliberal-isme sebagai metamorfosa paradigma liberal merupakan ruh yang mendasari gerak semangat dari terbentuknya komunitas ekonomi kawasan ini. Sebagai sebuah paradigma pembangunan ekonomi, neoliberalisme berasumsi bahwa entitas pasar merupakan aktor yang paling relevan dan efektif dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi didalam suatu negara. sebaliknya, mereka memandang bahwa intervensi negara dalam hal ini pemerintah terhadap perekonomian, melalui subsidi misalnya, merupakan hambatan yang mendistorsi berjalannya mekanisme pasar. Neoliberalisme mencuat sebagai sebuah paradigma pembangunan yang dominan pada tahun 1980-an dan 1990-an menggantikan paradigma Keynesian dalam pembangunan ekonomi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara berkembang. Neoliberalisme atau yang sering disebut juga sebagai “Washington Consen-sus”, dirancang sebagai respon terhadap persoalan ekonomi negara-negara Amerika Latin yang menerapkan paradigma Keynesian. Berdasarkan asumsi Keynesian, pembangunan di negara-negara ini diselenggarakan atas dasar peranan negara atau pemerintah yang sangat besar dalam bidang ekonomi, di mana kebijakan ekonomi pemerintah tersebut diarahkan kepada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran serta pemerataan distribusi pendapatan. Namun pada tahun1980-an, negara-negara di kawasan Amerika Latin mengalami defisit neraca pembayaran yang sangat besar. Krisis ekonomi ini diyakini oleh padangan neoliberal sebagai dampak dari kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan pemerintah yang tidak efisien dan langkah-langkah proteksionis yang diberlakukan pemerintah sehingga perusahaan swasta yang tidak efisien memaksa konsumen untuk membayar dengan harga mahal serta kebijakan moneter yang sangat longgar yang menyebabkan laju inflasi tidak terkendali.5
Kegagalan dari paradigma Keynesian ini kemudian memuculkan paradigma neoliberal untuk menggantikan posisinya sebagai paradigma dominan. Neoliberalisme memandang keynesian gagal karena paradigma ini tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada tahun 1980-an dan karena intervensi Negara dalam perekonomian tidak cukup mendisiplinkan sistem moneter dan perdagangan internasional. Terdapat tiga pilar utama paradigma neoliberal, yaitu disiplin fiscal.
Privatisasi dan liberalisasi pasar bebas. Kebijakan-kebijakan pembangunan dari paradigma ini didasarkan pada sebuah model sederhana ekonomi pasar,model ekuilibrium kompetitif, yang berakar pada prinsip “invinsible hand” AdamSmith yang diasumsikan bekerja dengan sempurna. Adapun asumsi-asumsi dasar dari paradigma ini antara lain adalah meletakkan pasar sebagai aktor atau pelaku utama dalam ekonomi; liberalisasi pasar dalam bentuk kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi dan modal tanpa adanya intervensi negara; menghilangkansemua pengeluaran negara untuk pemenuhan kebutuhan publik (public goods) atau meminimalisirnya secara bertahap; derregulasi semua kebijakan negara yang membatasi mekanisme pasar; privatisasi dengan menjual aset-aset negara kepada pasar. Neoliberalisme juga menjadi paradigma yang dianut oleh trinitas rezim ekonomi internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF, Bank Dunia dan World TradeOrganization (WTO).

Washington Consensus atau neoliberalisme menekankan pada penciptaan pertumbuhan ekonomi sebagai imperatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi dankemiskinan. Dalam pencapaian pertumbuhan tersebut, paradigma ini meletakkan prioritas pada pertambahan input kapital dan tenaga kerja semata-mata, di manafaktor kemajuan teknologi dipandang sebagai faktor eksogen dan mengabaikanfaktor-faktor di luar ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan.6

Melalui pertumbuhan ekonomi ini diyakini akan terjadi apa yang disebut sebagai trickledown effect, yakni efek penetesan ke bawah, dimana pertumbuhan ekonomi akan meneteskan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakatmiskin juga akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan ini.7

Nafas neoliberalisme terasa sangat kental sekali dalam proses integrasi eko-nomi di kawasan Asia Tenggara, di mana entitas pasar diagung-agungkan sebagai landasan gerak perekonomian. Beragam hambatan yang membatasi pergerakan pasar perlahan-lahan dihilangkan dalam upaya menuju terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kebebasan bergerak dari beragam faktor ekonomi menjadi intidari integrasi ekonomi ASEAN. Peranan pemerintah dalam perekonomian melalui proteksi yang menjelma dalam berbagai bentuk hambatan perdagangan, subsidi dan intervensi secara bertahap dihilangkan dalam proses integrasi ekonomi di ka-wasan Asia Tenggara ini. Namun demikian, fakta membuktikan bahwa entitas pasar tidak selamanya dapat bekerja dengan sempurna tanpa celah. Krisis secara periodik yang tanpa henti melanda dunia memperlihatkan dengan sangat jelas adanya kecacatan inheren yang melekat didalam tubuh entitas pasar. Hakikat dari pasar adalah peranan utama dari keberadaan harga relatif dalam keputusan alokatif. Pada dasarnya, pasar memiliki empat kegagalan mendasar yang menjadi landasan mengapa pada kenyataannya entitas ini tidak dapat berperan sebagai cara yang paling efektif dalam mengelola perekonomian.

Pertama, adanya “spillover” dari aktifitas ekonomi, dimana aktifitas salah satu aktor ekonomi dapat membawa dampak negatif bagi aktor lain, terutama misalnya dalam hal dampak lingkungan. Kedua, kecenderungan monopoli yang sangat besar dengan adanya peningkatan keuntungan dan biaya marginal darisalah satu pelaku ekonomi. Ketiga, kekakuan pasar dan kurangnya informasi yangdimiliki oleh informasi. Keempat, pasar tidak dapat menjamin adanya distribusi kesejahteraan yang merata.8

Terlebih dari itu, pengalaman integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak sepenuhnya melahirkan kisah sukses dimana setiap negara dapat menjadi pemenang didalamnya. Beberapa kasus integrasi ekonomi regional justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pembentukan Kesepakatan Perdagangan Bebas di Kawasan Amerika Utara (North American Free Trade Agreement – NAFTA) pada tahun 1994 mencerminkan pengalaman bagaimana integrasi ekonomi regional membawa dampak negatif bagi perekonomian salah satu negara yang terlibat didalamnya. Kesepakatan perdagangan bebas yang membukakan pintu perekonomian negara terkaya didunia Amerika Serikat kepada Meksiko ini merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar didunia pada saat itu, penduduk sebesar 376 juta dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$9 triliun.10 

Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkan liberalisasi perdagangan dalam integrasi dikawasan ini tidak menemui realisasinya. Salah-satunya argumen penciptaan perdagangan bebas di kawasan Amerika Utara adalah untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraanterutama antara Amerika Serikat dan Meksiko serta untuk menekan laju imigrasiilegal.11

Akan tetapi, alih-alih terjadi perbaikan ekonomi, kesenjangan pendapatandi antara kedua negara selama satu dekade pertama NAFTA justru meningkat lebihdari 10 persen.12

Selama dekade pertama NAFTA, pertumbuhan ekonomi Mek-siko sangatlah suram, hanya sebesar 1,8 persen pada basis per kapita riil. Memang pada kenyataannya, lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian negara-negaraAmerika Latin lainnya, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomiyang dicapai Meksiko selama periode 1948-1973, angka pertumbuhan sebesar 1,8 persen sangatlah buruk, dimana pada periode tersebut angka pertumbuhan rata-rata mencapai 3,2 persen.13

Faktanya, NAFTA justru menjadikan Meksiko sema-kin tergantung kepada Amerika Serikat. Dengan kata lain, jika performa ekonomiAmerika Serikat memburuk, begitu juga halnya dengan yang akan dialami oleh Meksiko.14

Catatan Kaki :

1ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm, diakses pada tanggal 2Maret 2009, pukul 11:33 wib.

2ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, diak-ses pada tanggal 2 Maret 2009 pukul 11:45 wib.

3ASEAN Economic Community Blueprint http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib.

4ASEAN Economic Community Blueprint http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib.

5Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (London: Penguin Books, 2002), 53.

6Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 112-116.

7Robert Gilpin, Global Political Economy, 78.

8Robert Gilpin, Global Political Economy, 68.

Mata Yang Ketiga (Bhatin)


Bicara tentang dirinya tentu tidak perlu neko-neko kesana kemari. Asalkan kamu bertanggung jawab. Terus setia, jujur dan menerima segala yang menjadi kekurangannya lebih dari cukup. Tidak perlu kamu sesalkan atas takdir yang berlaku atas manusia satu dengan manusia yang lain. Jika, sosok Adam diperuntukkan untuk Hawa. Sebaliknya cerita Ramayana dan Ramashinta. Karl Marx and Jenny. Kemudian begitulah langkah yang seharusnya kau tempuh bila kau ingin benar-benar mencintainya yg tanpa harus mencari identitas kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu bisa datang bila engkau mempunyai rasa untuk memilikinya. Harapan terbesar semoga untuk hari ini Vanguard akan belajar bertanggung-jawab dan belajar menghargai sikap perhatian seorang wanita yang dianggap istimewa atas segala-galanya. Thanks

Bebaskan Sunarji dan Kawan-kawan

Perampasan lahan yang dilakukan pemilik modal dan rezim penguasa terus melakukan privatisasi terhadap tanah-tanah rakyat terus saja terjadi disegala-lini kehidupan petani yang ada diindonesia. Bagaimana tidak petani yang harus dipisahkan dari alat produksinya seolah-olah telah menjadi fenomena yang pantas untuk dipertontonkan. Meskipun transisi pemerintahan hari ini baru saja digulirkan. Tapi, percayalah ini tidak akan merubah atas sistem yang berlaku diindonesia (kapitalisme). Tiada yang bisa menjamin bahwa berdirinya rezim yang baru akan mampu menyelesaikan persoalan konflik agraria yang ada diindonesia.

Mengutip beberapa istilah menyatakan “Bumi adalah Ibu, Langit adalah Bapak, Perjuangan terhadap Bumi / Tanah adalah perjuangan suci yang pasti didukung alam semesta” (Sambirejo, 3 September 2013). Kecamatan Sambirejo yang berlokasi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Latar Belakang sejarah yang kelam dan memilukan perlahan mulai terang oleh perjuangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat Sambirejo adalah salah satu bagian masyarakat yang mendapatkan secara langsung manfaat positif kebijakan land reform era-Soekarno. Namun, nasib cerah tak berlangsung lama. Ketika, tragedi 1965 meletus. Warga dirampas tanahnya dengan berbagai modus. Modus utamanya adalah dengan merampas langsung tanah warga demi ketersediaan lahan PTPN yang digencarkan pada era awal Soeharto (Orde Baru). Warga yang menolak menyerahkan tanahnya dituduh sebagai PKI dan terancam dihilangkan paksa. Beberapa warga Sambirejo yang mempertahankan tanah dan bangunan tak luput dari aksi penculikan, dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dihilangkan paksa dan dibunuh secara keji.1

Konflik Agraria di Sragen Berlangsung Sejak 1965

Konflik Agraria di Kabupaten Sragen sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Tepatnya sejak tahun 1965 dengan luas areal konflik 425 hektar. Lahan milik warga itu dirampas oleh PTPN IX dengan menggunakan isu PKI. Konflik agraria terjadi antara warga delapan desa di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen dengan PTPN IX. Desa-desa dimaksud antara lain, Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. Selama puluhan tahun tidak ada perkembangan yang berarti atas kasus konflik agraria ini. Pada tanggal 18 Maret 2014 dilakukan mediasi kedua belah pihak oleh Pemkab Sragen. Dihadiri juga oleh pejabat-pejabat terkait. Anehnya, beberapa saat setelah mediasi, PTPN IX malah mengerahkan 5.000 lebih karyawannya untuk melakukan pendudukan lahan, yang selama ini telah dikuasai dan digarap warga. Tentu saja langkah PTPN IX memicu ketegangan. Terjadilah kericuhan antara warga dengan ribuan “pasukan keamanan” perkebunan milik negara itu. Ujung-ujungnya, terjadilah itu penangkapan tiga orang petani oleh Polda Jawa Tengah sejak 22 Maret 2014. Mundur ke belakang, tepatnya tahun 2000, warga mulai memperjuangkan hak atas tanah mereka. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menemui pejabat desa, provinsi, DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri. Atas upaya tersebut, pada tanggal 15 Januari 2005 DPR RI membentuk Pansus Pertanahan yang diketuai oleh Nyoman Gunawan. Sayang, hingga kini kerja pansus tak tuntas. Pada 30 Desember 2008 Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IX habis masa berlakunya. Lalu warga beramai-ramai merebut kembali tanah mereka dengan menanaminya tanaman coklat, jagung, pisang, kacang dan kayu-kayuan (kayu mahoni, jati dan sengon). Sayang beribu sayang, BPN RI ternyata mengabulkan perpanjangan HGU PTPN IX dengan total luasan 251 hektar. Sisanya belum diterbitkan. Lalu pada tahun 2012, warga petani yang tergabung dalam Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) menuntut kejelasan kepada BPN RI atas status tanah mereka. Pada tanggal 4 September 2013 dimulai pemetaan wilayah konflik agraria yang dilakukan warga bersama-sama dengan Kanwil BPN Jawa Tengah, Kantor Pertanahan Kabupaten Sragen, Pemda Sragen, Dinas Perkebunan (provinsi dan kota), Dinas Kehutanan (provinsi dan kota), KPA dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Anehnya, PTPN IX justru terus melakukan provokasi terhadap warga. Mereka diduga melakukan perusakan tanaman warga, dan menghalang-halangi produksi pertanian warga, Kepolisian setempat juga diduga mengintimidasi warga dengan melakukan pemanggilan secara terus-menerus terhadap salah satu warga yang bernama Sis Sariman. “Kenyataan inilah yang kemudian memicu benturan antara warga dengan pihak keamanan PTPN IX yang berujung pada penangkapan ketiga petani anggota FPKKS,” terang Iwan. 

Konflik Agraria yang berujung Penangkapan Petani 

Seperti sudah menjadi “tradisi” kalau konflik agraria di negeri ini berujung pada penangkapan petani, seperti kasus konflik agraria di Sragen ini. Penangkapan petani Kecamatan Sambirejo ini cukup unik. Mengapa? Karena mereka justru adalah orang-orang yang mencoba melerai pertikaian antara warga petani versus ribuan karyawan PTPN IX. Polres Sragen memangil tiga orang petani itu untuk dimintai keterangan soal kericuhan tadi. Usai memberikan keterangan, Polisi tanpa dasar yang jelas menetapkan mereka sebagai tersangka dengan tuduhan telah melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN IX) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP dan Pasal 406 KHUP. konflik agraria berujung pada penangkapan tiga orang petani Sragen, Jawa Tengah. Ironis, ketiganya justru yang melerai kericuhan antara warga petani dengan 5000 karyawan PTPN IX. “Pada tanggal 22 Maret 2014, Polres Sragen memangil beberapa warga, yaitu Sunarji, Sarjimin dan Suparno untuk dimintai keterangan mengenai kericuhan yang terjadi antara warga dan karyawan PTPN IX. Setelah memberikan keterangan, tiba-tiba tanpa dasar yang jelas pihak Kepolisian menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” terang Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (27/03). Ketiganya dikenai tuduhan melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP serta 406 KHUP. Divonis satu setengah tahun dipenjarakan.

Konflik Agraria di Sragen & Isu PKI

Menurut Iwan, sudah sejak lama, PTPN IX memang hendak memperluas areal usahanya dengan menyewa lahan warga. Namun, rencana itu terbentur oleh penolakan dan SK yang dipegang warga yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Jawa Tengah (KINAD) pada 4 Januari 1964. “Warga yang sudah memiliki tanah secara sah berdasarkan SK No.2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164 tidak pernah memberikan tanah tersebut untuk disewa oleh PTPN,” terang Iwan. Kemudian meletuslah Gestok 1965. Pada masa itu, semua tahu, yang menentang kebijakan pemerintah Orde Baru bisa kena tuduhan sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Nah, PTPN IX diduga memanfaatkan “momentum” ini dengan menyebarkan isu bahwa semua warga yang mempertahankan tanahnya adalah anggota PKI. Sukses. Lahan warga kemudian dengan mudahnya dirampas oleh PTPN IX. Perusahan perkebunan negara itu lalu mengganti semua tanaman menjadi tanaman karet. “Sampai sekarang korban penggusuran yang terjadi sejak 1965 lalu masih menumpang di rumah keluarga dan kerabat lainnya,” ujar Iwan.

Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria

KPA tentu prihatin dengan konflik agraria yang sudah berlarut-larut ini. KPA meminta polisi segera membebaskan petani yang ditahan dan memulihkan nama baik mereka. KPA juga menuntut kepolisian menghentikan cara-cara kekerasan, kriminalisasi dan tindakan represif terhadap warga dan dalam menangani konflik agraria. “Menuntut para pihak terkait dalam persoalan kasus tanah Sambirejo segera mengembalikan penguasaan dan penggarapan tanah seluas 425 ha kepada warga di delapan desa di Kecamatan Sambirejo. BPN RIjuga diminta segera mencabut HGU PTPN IX di Sambirejo,” tegas Iwan.“Pentingnya penyelesaian konflik-konflik agraria yang terjadi di negeri ini secara tuntas dan menyeluruh dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia,” tegas Iwan lagi (PENTING: Di Mana Ada Konflik Agraria, di Situ Ada Korupsi Pertanahan ?). Pada tanggal 22 Maret 2014, Polres Sragen memangil beberapa warga, yaitu Sunarji, Sarjimin dan Suparno untuk dimintai keterangan mengenai kericuhan yang terjadi antara warga dan karyawan PTPN IX. Setelah memberikan keterangan, tiba-tiba tanpa dasar yang jelas pihak Kepolisian menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” terang Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (27/03). Ketiganya dikenai tuduhan melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP serta 406 KHUP.

Catatan Kaki :

1.http://www.kpa.or.id/?p=2298
2http://suaraagraria.com/detail-20240-konflik-agraria-di-sragen-berujung-penangkapan-tiga-petani.html#.VAi2DMKSwhM