Theologi Pembebasan

By : Vanguard
Croatto : “Bahasa Paulus mengenai pembebasan dari dosa, hukum taurat dan maut mempunyai arti yang melebihi apa yang dikatakan oleh Paulus dalam konteksnya. Apa yang tidak dikatakan dalam perkataan Paulus, harus kita tambahkan sendiri ketika membaca surat Paulus; dengan membebaskan kita juga dalam penindasan ekonomi, politik  dan sosial, Kristus mengabulkan maksud Allah, menciptakan manusia yang bebas dan kreatif, dan bukan para budak.” (Hasil Konferensi para Uskup dari Amerika Selatan di Medllin 1968; dikutip oleh Cochlovius. Hlm 99.)
A. Definisi Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan merupakan kata majemuk dari kata teologi dan pembebasan. Secara etimologi teologi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos  yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideology pengembangan ekonomi yang cenderung kapitalistik.Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni  pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Michael Lowy yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah “Pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada awal tahun 1960-an, memang sudah ada sebelum penulisan teologi itu sendiri.”1
Sedangkan menurut salah satu situs internet http://teologipembebasan.com. Bahwa yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah “Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke dalam praksis, yang tentunya hal ini berlaku di tengah-tengah kondisi dan situasi kemiskinan dan penderitaan rakyat.”2
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian di atas. Maka, dapat disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk membebaskan mayoritas rakyat seperti dicontohkan revolusi Iran penjatuhan rezim Syah Pahlevi.
Gustavo Gutierrez: “This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”. (Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16) Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.3
B. Selayang pandang Teologi Pembebasan
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan.
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.”
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20. Bahwa : “Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.”4
Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan. 
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.
Sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi tradisional, yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas. “Gereja dan dunia tidak bisa lagi dipisahkan. Gereja harus membiarkan dirinya untuk didiami dan diinjili oleh dunia. "Sebuah teologi Gereja di dunia harus dilengkapi dengan teologi dunia dalam Gereja" (Gutierrez). Bergabung dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas melawan penindas adalah tindakan "konversi," dan "evangelisasi" adalah mengumumkan partisipasi Allah dalam perjuangan manusia untuk keadilan.” 5
Kemudian pihak geraja melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Rakyat harus disadarkan bahwa kemiskinan dan ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat harus dipintarkan, kemudian geraja mempolopori pembebasan memalui intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, kolumbia (1937), Universitas Katolik di Lima(1942), di Rio de Jeneiro dan Sao Paulo (1947), Porlo Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960).
Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Fhilipina, termasuk juga Indonesia.Menurut  seorang teolog dari Sri Lanka yaitu Aloysius Pieris, yang mengamati perkembangan teologia di Asia mengatakan : “Teologia Pembebasan mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dipunyai oleh teologia klasik ... di gereja timur, metode baru ini sudah bersaing dengan teologia tradisional, sebagai hasilnya berdirilah EATWOT (The Ecumenical Association of Third World Theologians)”.6
Hampir berbarengan dengan itu pada tahun 1970, James Cone, Profesor di Union Theological Seminary menerbitkan A Black Theology of LiberationYaitu pemusatan kepada kelompok yang tertindas, dan adanya definisi istilah teologia yang diartikan dalam konteks sosial politik. Pengaruhnya segera meluas dan mendapat sambutan yang hangat oleh negara-negara dunia ketiga. Rasa solidaritas dunia ketiga yang rata-rata merupakan korban penjajahan, kemiskinan yang masih merajalela, sedangkan hasil kemajuan teknologi impor hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil lapisan atas, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin semakin nampak. Perkataan seperti pembangunan nasional, kemanusiaan, keadilan, tidak asing lagi.

C. Islam Muncul Adanya Penidasan dan Ketidakadilan
Islam pada awal perkembanganya banyak dipeluk oleh orang-orang yang bukan merupakan golongan elit di masyarakat. Muhammad sebagai pembawa risalah juga berasal dari keluarga quraisy yang walupun cukup terpandang, tapi tidak tergolong sebagai keluarga yang kaya dan tidak memiliki status social yang tingi di mata masyarakat. Pada saat itu islam menjadi tantangan yang luar biasa bagi para saudagar kaya Mekkah, sehingga kemudian mereka menolak ajarannya. Bukan semata-mata karena mereka menolak risalah tauhid, tetapi lebih kepada ketakutan mereka terhadap islam yang akan membawa perubahan social, khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politis maupun ekonomi. Ditengah situasi yang tidak menentu, karena kuatnya dominasi para saudagar arab waktu itu, dan dibumbui dengan adanya isu-isu seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan yang baru lahir, penindasan terhadap orang-orang miskin. Dari latar belakang keadaan kehidupan seperti itu nabi Muhammad muncul sebagai pembawa kebebasan. Dan tidak ada alasan lagi bagi para pengikut Muhammad untuk tidak megikuti ajarannya sebagai pembebas orang yang tertindas. Pada masa kenabian Muhammad islam memberikan kritik yang mendasar pada system dalam ekonomi yang dijalankan oleh kaum Quraisy mekah yang timpang dan kapitalistik. Meminjam bahasa Marx, sebenarnya Islam telah menyediakan basis hadirnya sebuah revolusi, yaitu unsur pasif dasar material. Islam menemukan senjatanya pada kaum yang tertindas, dalam istilah islam dikenal dengan kaum mustad’afin sedangkan kaum tertindas menemukan inspirasinya dalam berbagai ayat Al-quran dan perkataan nabi Muhammad dalam sunnah-Nya.7
D. Revolusioneritas Yesus Kristus
Yesus seringkali dipandang sebagai revolusioner, apa yang ditekankan dalam Kristologi pembebasan adalah Yesus historis. Yesus dipahami hanyalah sebagai nabi dan tidak berarti bahwa Ia menyampaikan kepada umat apa yang difirmankan oleh Allah. Melainkan adalah bahwa Yesus menjalankan kritik terhadap masalah-masalah ketidak-adilan di dalam masyrakat. Jadi Kristus yang dipahami oleh teologi pembebasan adalah Kristus sejarah saja yang hanya mendukung pikiran revolusi secara teologi. Pendamaian diartikan hanya sebagai pembebasan rakyat yang tertindas secara politis. Yesus ditafsirkan sebagai pelaksana rencana Bapa dengan sasaran pendamaian, pendamaian dengan Allah terjadi sebab Yesus membebaskan rakyat yang tertindas dan mencela para penindas. Karena itu Eta Linnemann menuliskan “maka teologi pembebasan bukanlah salah satu teologi Kristen, melainkan hanya satu pengajaran sesat yang menyalahgunakan nama Yesus dan semua istilah dari pengajaran Kristen.”8

L Roy : “Keselamatan berarti pembebasan dalam bidang politik, pembebasan dari segala macam penindasan yakni yang didefenisikan demikian oleh mereka, yaitu sang manusia menerima kembali kemanusiaan penuh dengan benar, istilah keselamatan diubah bentuknya menjadi pembebasan politik.” Burgess Carr pada sidang Konferensi Gereja-Gereja seluruh Afrika (AACC); dikutip oleh Le Roy (1980). Hal 190.

Catatan Kaki :
1Michael Lowy, TEOLOGI PEMBEBASAN, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000). Hlm. 26
2http://teologipembebasan.com
3Sona-adiansah.blogspot.com
4Grenz, 20th Century 211, Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A.
Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985). Hal 635.
5www.http:// Prasasti Perangin-angin, S.Pd/teologi pembebasan.com
6 http://webserch.teologi pembebasan.com 
7Sona-adiansah.blogspot.com
8Op.Cit. hlm 185





Kagarlitsky


 
New Realism, New Barbarism: Socialist Theory in the Era of Globalization. Pluto Press, London: 1999.
Twilight of Globalization: Property, State and Capitalism. Pluto Press, London: 2000.
The Return of Radicalism: Reshaping the left institutions. Pluto Press, London: 2000.
 
Pengantar 
T
RILOGI  Boris Kagarlitsky dengan judul di atas adalah sebuah gedoran atas kebekuaan pemikiran yang semakin terkungkung dengan realitas politik global awal abad ke-21, dan menantang pesimisme apakah ada jalan lain di luar keyakinan ekonomi [masyarakat] pasar yang seolah menjadi ‘kenyataan tak terhindarkan’ dari sejarah abad ke-21. Keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1980an dan munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia yang mengadopsi sistem pasar dengan kontrol negara seperti membunyikan lonceng kematian cita-cita dan praktek politik ‘kiri’ yang menjadi marak sejak pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. 
 
Kagarlitsky adalah seorang ilmuwan sosial yang menekuni ilmu sosiologi sebagai bidang keahliannya. Ia juga seorang aktivis politik dan organiser serikat buruh yang sempat mendekam di penjara di masa kekuasaan presiden Rusia pertama pasca perestroika dan glasnot, Boris Yeltsin. Latar seperti itu menjadikan buku ini bukan sekedar sebuah pernyataan-pernyataan politik pengarangnya, tetapi juga kaya dengan nuansa analisis yang menampilkan sebab-akibat mengapa politik kiri di dunia seperti menghadapi takdir untuk menjadi salah satu cerita di museum sejarah abad ke-19 dan ke-20. 
Tetapi  trilogi ini juga bukan sekedar menawarkan kepada kita sebuah bentuk analisa. Ia pun hadir memberikan dorongan semangat untuk tetap meyakini bahwa ‘keyakinan’ sosialis adalah titik awal dari sebuah agenda gerakan kiri. Keyakinan tentang pentingnya pengaturan sosial terhadap cara produksi material untuk kehidupan orang banyak adalah landasan aksi yang kemudian membentuk pemikiran sosialis, bukan sebaliknya. Marx tidak harus menyelesaikan dahulu Marxisme untuk menjadikannya seorang sosialis revolusioner. Ia terlibat dan aktif sejak usia muda sampai matinya, dengan beragam jenis politik sosialis yang ada dalam masa hidupnya. Dan meskipun ia bersama sahabatnya Engels menyusun sebuah ‘sosialisme ilmiah,’ tapi itu bukan berarti keterputusan hubungan dan kerjasama dengan arus politik sosialis di Eropa pada pertengahan abad 19, dalam menciptakan masyarakat baru yang lebih adil dan manusiawi. 
New Realism, New Barbarism: Socialist Theory in the Era of Globalization. Pluto Press, London: 1999.
New Realism, New Barbarism: Socialist Theory in the Era of Globalization. Pluto Press, London: 1999. 
Buku Pertama: New Realism, New Barbarism 
Kita mulai dengan buku pertama. Buku itu ditulis dan diterbitkan pada tahun 1999, bertepatan dengan periode krisis di Asia Tenggara yang dianggap sebagai Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi cepat selama satu dekade.  Di situ, Kagarlitsky menarik persoalan selama satu dekade sejak perestroika yang menghancurkan Uni Soviet, sekaligus membahas masalah-masalah yang dihadapi gerakan sosialis di Eropa sejak kemenangan Partai Buruh yang menempatkan Tony Blair sebagai Perdana Menteri, termasuk perkembangan Euro-Communism, gerakan kiri di benua Amerika Latin, Afrika dan Asia setelah keruntuhan Soviet. Tidak dapat disangkal bahwa krisis yang terjadi di Asia Tenggara menjadi petunjuk tentang ‘kemerosotan standar sosial’ sekaligus pada saat yang sama kemenangan mafia liberalisme Barat di seluruh penjuru dunia. Kehancuran rejim soviet bukan saja mendiskreditkan sosialisme sebagai sebuah praktek politik, tetapi juga mendiskreditkan ideal-ideal demokrasi di berbagai tempat. 
Dalam buku pertama ini, kita dihadapkan pada persoalan kerangka strategis dan rumusan teoritis dari politik sosialis di berbagai tempat. Memang tidak dapat disangkal, selama tiga dekade sejak Prancis 1968, terdapat kemajuan pesat dalam teori sosialis—termasuk kemunculan post-modernisme—di lingkungan intelektual dan akademisi dari apa yang disebut sebagai Western Marxisme. Pertumbuhan teori-teori tersebut ditujukan untuk membahas persoalan negara, kelas, partai, dan strategi politik sosialis yang kemudian banyak menghasilkan pemikir-pemikir populer di dunia. Tapi kosmopolitanisme dalam perkembangan teori sosialis harus menghadapi kenyataan bahwa disamping pertumbuhan pesat dalam teori, pada saat bersamaan pengaruh pemikiran dan aksi mereka di dalam realitas kehidupan masyarakat semakin merosot, kalau tidak semakin mandul. Mungkin ironi ini dapat dibandingkan dengan situasi di Indonesia sekarang ini, ketika para intelektual dan akademisi kampus ‘dapat menerima’ gagasan-gagasan teoritis baru dari pemikir sosialis, sebut saja Alain Badiou, tapi pada saat yang sama pembahasan teoritis gagasannya hanya dibicarakan tidak lebih dari sepuluh orang di sebuah cafe kopi atau warung makan. Dan di toko-toko buku kita bisa mendapatkan terbitan dari pemikir-pemikir klasik politik sosialis, termasuk terjemahanDas Kapital dari Marx, tetapi pada saat yang bersamaan, perkembangan sosial sama sekali tidak menunjukkan kaitan gagasan tersebut dengan problem sosial yang muncul. 
Kedua, dan yang menjadi pokok pembahasan dalam bagian pertama buku ini, adalah kenyataan bahwa kemunculan politik sosialis dekade 1990an berhasil mendominasi parlemen di Eropa, tetapi pada saat yang sama agenda-agenda politik sosialis ditinggalkan oleh para politisi sosialis yang kehilangan kepercayaan diri ketika menghadapi realitas globalisasi dan dominasi neo-liberal di dalam negara nasional masing-masing. Sebut saja Tony Blair di Inggris, yang mengambil kepemimpinan partai buruh dengan sebuah ‘sosialisme baru,’ memperbaharui partai buruh yang ditinggalkan pengikut tradisionalnya dan memberi enerji baru dinamika politik kiri di Inggris,  tetapi dengan cepat meninggalkan janji sosialisme tersebut dengan semakin meninggalkan basis massa pendukung di kalangan serikat buruh. Dalam buku pertama ini, Kagarlitsky menunjukan bahwa ‘lunturnya keyakinan sosialis’ di kalangan pemimpin justru berbanding terbalik dengan ‘meningkatnya harapan’ di kalangan buruh dan kelas menengah di Eropa tentang sebuah alternatif dari kebijakan neoliberal yang mengungkung mereka selama satu dekade. 
Jadi, politik sosialis mengalami kemunduran justru ketika golongan kiri berhasil mendominasi pemilihan suara di parlemen dan sekaligus menduduki pemerintahan di Eropa seperti dalam kasus Inggris, Perancis, Italia dan Yunani. Kagarlitsky memandang bahwa persoalan mendasar dari kemunduran ini terletak pada ‘mode berpolitik’ dari golongan kiri yang tidak meyakini agenda-agenda program yang mereka buat sendiri ketika mereka justru memegang pemerintahan. Intimidasi dan dominasi neoliberal membuat mereka secara perlahan meninggalkan agenda-agenda sosialis, justru ketika mereka berada dalam pemerintahan. Kasus Islandia menjadi gambaran menarik dalam uraian Kagarlitsky, dimana negara yang paling tinggi tingkat distribusi kesejahteraannya, paling bersih dari segi lingkungan, justru dirusak oleh politisi sosialis yang membuka investasi pasar modal di dalam negeri melalui swastanisasi perbankan dengan akhir tragis berupa kehancuran perekonomian negara tersebut dalam krisis finansial 2008, seperti yang kita alami belakangan ini (belum diuraikan Kagarlitsky ketika buku tersebut diterbitkan). 
Ringkasnya, masalah mendasar dari politik sosialis yang dibahas dalam buku pertama ini adalah masalah dari politisi sosialis yang berganti baju (bandingkan dengan konseptransformismo Gramsci) dan mencuci pemikiran sosialis dalam benak mereka justru setelah menjadi bagian dari politik mainstream. Seolah-olah pikiran sosialis seperti kotoran yang harus ditutupi oleh para politisi itu untuk meyakinkan rekan-rekan mereka di kalangan liberal dengan janji bahwa mereka tidak akan merusak sistem yang menciptakan kemapanan bagi para politisi sosialis tersebut. Mentalitas menghadapi real-politik seperti itu yang merusak politik sosialis dan sekaligus menciptakan persoalan-persoalan mendasar baru. 
Seperti menjadi perhatian Kagarlitsky, ketika para politisi sosialis menanggalkan baju mereka, orang-orang biasa yang menjadi pendukung dari cita-cita sosialis dan agenda program yang ditawarkan terperangkap dalam kondisi tanpa alternatif. Gejala politiknya adalah dukungan yang mereka berikan terhadap gerakan politik kanan (seperti Le Pen dan British Nationalist Party dan Nader di Austria), yang mendapatkan massa pendukung dari pemilih-pemilih yang secara tradisional memberikan suara mereka kepada politisi sosialis. Jadi, meningkatnya gerakan ultra-kanan terjadi ketika massa pendukung politik kiri kehilangan kepercayaan dan harapan mereka terhadap gerakan politik yang secara tradisional mewakili mereka. Dan lebih buruk adalah ‘perang’ sebagai jalan keluar dari kondisi krisis tersebut yang memberikan massa pendukung sebuah jalan keluar bersama dan pada saat bersamaan melupakan masalah-masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di sini kita mendengar kembali gaungManifesto Komunis dari Marx yang menegaskan bagaimana ‘penghancuran kekuatan-kekuatan produktif’ sebagai jalan lain dari kegagalan politik sosialis pada akhir abad 19 (dan terbukti melalui pengalaman dua kali perang pada awal abad 20 di Eropa).  Begitulah tema besar dalam buku pertama tersebut. 
Twilight of Globalization: Property, State and Capitalism. Pluto Press, London: 2000. 
Twilight of Globalization: Property, State and Capitalism. Pluto Press, London: 2000.
Buku Kedua: Twilight of Globalization 
Dalam buku kedua, setelah membahas disorientasi politik sosialis yang terjadi sepanjang dekade 1990an, Kagarlitsky membahas tentang masalah-masalah besar yang menjadi ciri abad 21,  sebagai tantangan bagi politik sosialis. Untuk membaca buku bagian dua ini, saya akan memulai pembahasan pada pengalaman kontemporer kita di Indonesia terlebih dahulu untuk menempatkan relevansi dalam membaca buku kedua ini. 
Buku kedua ini berangkat dalam semangat mempertanyakan bagaimana negara—melalui kebijakan publik—dapat mendorong terciptanya sarana dan prasarana yang mendukung upaya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik. Selama satu setengah dekade di Indonesia, tidak dapat disangkal posisi ini semakin terpinggirkan. Ada sebuah diktum yang kita ikuti bersama bahwa setelah perjanjian kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) pada masa awal reformasi politik di Indonesia, negara harus mundur dari serangkaian inisiatifnya dalam bidang perekonomian. Semangat Washington Consensus dalam kaitan ini mendapat ruang gerak bebas di Indonesia, ketika pemerintah dan perekonomian nasional berada pada titik paling lemah. Privatisasi badan-badan usaha pemerintah yang menguntungkan, dan sekaligus pengurangan subsidi negara dalam sektor publik, adalah formula yang ditawarkan dalam semangat tersebut. Memang, dalam waktu beberapa tahun formula ini diyakini telah menjadi resep yang dapat mengobati kelimbungan perekonomian Indonesia. 
Bagaimanapun, ada harga yang harus dibayar. Memasuki akhir tahun 2009, publik di Indonesia dikejutkan oleh sebuah vonis yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Propinsi Banten, terhadap seorang ibu dua anak bernama Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik rumah sakit Omni Internasional. Pengadilan menjatuhkan vonis denda 204 juta rupiah dan kurungan penjara terhadap ibu dua anak itu karena keluhan pribadinya  yang disampaikan lewat surat elektronik kepada beberapa sahabatnya. Dalam waktu singkat, keluhan pribadi ini beredar melalui jaringan milis dan menjadi pembicaraan publik. Di sini kita mendapatkan konteks masalah yang cukup jelas. Keluhan Prita bukan keluhan individual. Ia mewakili psikologi populer kebanyakan orang di Indonesia, tentang bagaimana kualitas layanan kesehatan yang tetap rendah meskipun mereka sudah membayar mahal biaya kesehatan di rumah sakit. 
Omni Internasional memandang keluhan Prita sebagai pencemaran nama baik rumah sakit tersebut. Mereka menuntut Prita. Dan pengadilan pun menjatuhkan hukuman terhadap Prita. Yang tidak disadari Omni Internasional dan Pengadilan Tinggi Banten, Prita tidak sendirian. Lebih dari sejuta orang menyatakan dukungan melalui internet. Di jalanan—dari mereka yang mengendarai mobil pribadi, anak-anak Sekolah Dasar sampai tukang becak—menunjukkan solidaritas dengan mengumpulkan ‘Koin untuk Prita’ yang jumlahnya melebihi vonis denda pengadilan. Solidaritas publik terhadap Prita adalah wujud psikologi popular yang menunjukkan rasa frustasi mereka terhadap lembaga publik yang lebih mewakili kepentingan nama baik sebuah perusahaan dibandingkan persoalan yang dihadapi orang-orang biasa dalam kehidupan mereka. Mereka frustasi dan marah bahwa lembaga publik menjatuhkan hukuman kepada pribadi Prita yang sesungguhnya mewakili keluhan publik. ‘Koin untuk Prita’ adalah perwujudan norma publik—dalam bentuknya yang spontan—ketika  lembaga publik dalam pandangan masyarakat menjalankan peran tidak lebih sebagai cabang atau unit usaha sebuah perusahaan. Di sini jelas bahwa ‘keadilan publik’ telah lahir. Mereka juga ingin menghukum Omni Internasional dan Pengadilan Tinggi. Tetapi cara mereka lebih santun. 
Kasus yang saya uraikan sekali lagi bersifat anekdotal. Tetapi ini adalah ilustrasi yang hidup tentang posisi publik di dalam republik ini tentang perkembangan-perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya selama satu setengah dekade berselang.  Ketika kewenangan dan kemampuan negara dalam ranah publik semakin dilucuti dalam gelora reformasi politik di Indonesia, optimisme dalam bidang politik dihantui oleh rasa frustasi terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat yang semakin jauh dari kekuatan yang dapat melindungi mereka. Sebuah cita-cita membangun kehidupan demokratis di Indonesia, pada akhirnya membawa pula kekuatan yang menggeser kepentingan-kepentingan publik ke dalam kepentingan organisasi privat. Tanpa terasa, prinsip-prinsip neoliberal menyusup dalam cita-cita membenahi karakter kekuasaan otoriter dan praktek birokrasi yang mewakili benang kusut kolusi, korupsi dan nepotisme dalam periode pemerintahan sebelumnya. 
Para pendukung neoliberalisme—baik di dalam maupun di luar Indonesia—telah menyatakan bahwa problem terbesar yang menjadikan Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi  sejak tahun 1996 sampai 1998 adalah over-birokrasi dan over-regulasi. Dalam beberapa hal, argumentasi dan pandangan ini tidak dapat dipersalahkan. Tetapi melebihi apa yang diharapkan pendukung reformasi dan gerakan demokratisasi di Indonesia, mundurnya negara dari banyak kewenangan mengurus sektor-sektor publik yang berkait dengan persoalan-persoalan ‘hajat hidup orang banyak,’ menjadi persoalan penting dalam kehidupan kita selama satu setengah dekade berselang. 
Memberikan iklim lebih ramah bagi swasta untuk berkompetisi memberi ‘layanan publik’ dengan cara yang dianggap lebih efisien dan sekaligus menguntungkan dibanding pengelolaan negara, seperti sebuah hukum besi yang tidak bisa lagi ditolak. Argumentasi bahwa akuntabilitas dan transparansi yang rendah dalam pengalaman pemerintahan Orde Baru, menjadi salah satu alasan yang mewakili gagasan mengapa negara harus terus mundur dari campur tangan pengelolaan sektor-sektor publik di Indonesia. Biarkan mekanisme pasar yang menentukan bagaimana publik mendapatkan pemenuhan maksimal kebutuhan mereka dibanding kualitas layanan yang rendah dan fasilitas buruk dari layanan publik yang disediakan negara. Argumentasi pemikiran ekonomi liberal telah meyakini bahwa badan swasta adalah agen yang lebih baik dalam menjalankan kepentingan-kepetingan publik. Tetapi bagaimana persoalan akuntabilitas dan transparansi publik? Kasus Prita Mulyasari menunjukkan kenyataan ketika akuntabilitas dan transparansi itu dipertanyakan, mereka menjatuhkan hukuman lebih berat dibanding ketika publik mengejek dan mencemooh layanan-layanan yang diberikan negara terhadap mereka. 
Sebuah ilustrasi lain untuk menutup bagian kecil ini dapat kita lihat dalam perwujudan literer yang ditulis George Orwel dalam 1984. Orwell memberikan gambaran tentangSaudara Tua (mewakili sosok negara dan birokrasi dalam sistem Uni Soviet) yang begitu berkuasa dan tidak meninggalkan pilihan pribadi dan kebebasan individual ‘saudara-saudara kecil,’ membuat mereka putus asa dan frustasi berhadapan dengan wajah birokrasi yang tidak manusiawi. Dalam pengalaman Indonesia pasca reformasi, perbandingan ini mungkin relevan. Birokrasi dan struktur negara yang diwarisi dari pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai Saudara Tua yang menakutkan dan membuat orang frustasi. Elan neoliberalisme mendapatkan kesempatan menyusup dalam semangat jiwa reformasi di Indonesia dengan mendorong pelucutan kekuasaan Saudara Tua, yang kemudiandisingkirkan seperti sosok dinosaurus dalam museum. Perencanaan publik telah digantikan dengan perencanaan privat. Tetapi, bagaimanapun pengalaman selama satu setengah dekade menunjukkan bahwa saudara-saudara kecil kita tidak juga menjadi lebih bebas dan aman, dan tetap diselimuti rasa frustasi dan kecemasan dalam kehidupan mereka. 
Pendukung gagasan ini—di dalam dan luar Indonesia—memang tidak menyatakan secara verbal bahwa mereka adalah pembicara canggih yang membawa Indonesia dalam tatanan ekonomi-politik global ketika neoliberalisme adalah norma dominan. Pengalaman satu setengah dekade reformasi menunjukkan, mereka cukup berhasil. Cita-cita dan semangat reformasi tahun 1998 di Indonesia, pada akhirnya tidak lebih sekedar membuat negara mundur ke belakang digantikan kekuatan swasta—mayoritas adalah perusahaan asing atau perusahaan asing dengan mantel nasional—yang menjadi motor penggerak perekonomian nasional Indonesia. Kinerja pokok ekonomi Indonesia sekarang telah diukur dengan sejauh mana pemerintah berhasil menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, menciptakan iklim yang ramah terhadap modal asing dengan sedikit mungkin regulasi yang membatasi ruang geraknya, memangkas birokasi dan terutama mengurangi campur tangan negara terhadap sektor publik yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perencanaan publik diganti menjadi perencanaan swasta. 
Kondisi di Indonesia seperti ini menjadi sebuah perbandingan menarik dalam membaca tulisan Kagarlitsky dalam buku keduanya. Di sini, ia menegaskan sebuah kenyataan bahwa pada saat politisi sosialis kekurangan imajinasi dan kreativitas, disibukkan dengan teori-teori yang cuma ada dalam kepala mereka, neoliberalisme dengan cepat menyusup dalam kehidupan masyarakat pada abad 21. Ketika politisi-politisi sosialis mengganti baju mereka, pada saat yang bersamaan orang-orang biasa semakin terhempas dalam kegetiran dan kesulitan hidup sehari-hari, dan ini bukan sebuah cerita dari buku teks atau sekedar angka statistik kemiskinan.
Di sini, Kagarlitsky menawarkan sebuah arahan pemikiran bahwa ketika ‘negara nasional menjadi semakin impoten,’ justru kekuatan neoliberal yang paling dapat meraih keuntungan dibandingkan kehidupan orang banyak dan termasuk juga dari agenda-agenda politisi sosialis. Bahwa ketika organisasi dan birokrasi dianggap sebagai sebuah hambatan, pemenang dari seluruh pertarungan ini adalah IMF dan Bank Dunia, termasuk organisasi-organisasi LSM yang dengan aktif mendorong ‘governance tanpa government’ demi memenuhi target dukungan dana donor bagi organisasi mereka.  Organisasi-organisasi itu terus melemahkan negara nasional mereka dengan tuntutan akuntabilitas serta transparansi, dan sekaligus melempangkan jalan bagi organisasi-organisasi privat yang tidak ada sama sekali transparansi dan akuntabilitasnya kecuali kepada para pemilik saham mereka. 
Ringkasnya, mengambil kembali kekuatan negara pada tingkat nasional adalah sebuah langkah strategis dalam bentuk politik sosialis di dalam lingkup globalisasi sekarang ini. Meski internasionalisasi kerja sudah terjadi, kasus buruh migran di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan pelindung bagi buruh migran Indonesia selain negara nasional mereka. Di luar itu, tidak ada yang perduli terhadap nasib mereka, dan meskipun perduli, tidak ada mekanisme yang dapat mereka ciptakan. 
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah cara merebut negara nasional itu dalam arahan politik sosialis? Sudah barang tentu ini membutuhkan dialog kita sendiri. Kagarlitsky memang tidak menawarkan apapun terhadap persoalan ini. Kita di Indonesia sesungguhnya telah diuntungkan oleh konstitusi negara Republik Indonesia dari setiap pasalnya. Tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi Republik Indonesia yang memberi dukungan kepada agenda neoliberal. Tetapi, seperti diuraikan dalam buku pertama Kagarlitsky, golongan kiri lebih cenderung berpikir dengan gagasan abstrak dalam buku-buku yang mereka baca dibandingkan melihat realitas langsung masyarakat sekeliling mereka, sebuah  pemujaan buku seperti dicetuskan Mao ketika menentang arus dogmatisme dalam tubuh partainya saat itu. 
The Return of Radicalism: Reshaping the left institutions. Pluto Press, London: 2000.
The Return of Radicalism: Reshaping the left institutions. Pluto Press, London: 2000.
Buku Ketiga: The Return of Radicalism 
Dalam buku terakhir ini, Kagarlitsky mulai menjelaskan pengalaman dari strategi-strategi yang muncul dari gerakan sosialis di dunia dalam dua dekade terakhir. Persoalan-persoalan yang menjadi perhatian dalam buku pertama dan kedua mendapat tempat di latar belakang dalam mengulas strategi-strategi yang muncul dalam gerakan sosialis akhir abad 20 dan awal abad 21, mulai dari gerakan Maois di Nepal, politik buruh di Indonesia, nasib COSATU di Afrika Selatan, sampai gerakan Zapatista di Amerika Latin. Dan sebuah tema dasar dari buku ini membahas tentang bagaimana ‘reshaping the left institutions’ seperti diwakili oleh organisasi serikat buruh. 
Sindikalisme yang mewarnai tradisi gerakan buruh dalam dua dekade terakhir menjadi persoalan penting bagi Kagarlitsky. Bagaimana menjadikan serikat buruh sebagai institusi nasional adalah persoalan penting yang menjadi pembahasan pertama dalam buku ini. Pertama, serikat buruh telah menjadi semakin kuno dengan landasan mereka semata-mata pada industri-industri besar yang semakin kehilangan jumlah anggota dan pekerjanya (dengan masuknya komputerisasi dan robotisasi, termasuk teknologi virtual), dan pada saat yang sama muncul buruh temporer, part-time, pekerja rumahan, golongan-golongan baru dari para pekerja yang tidak masuk dalam kategori industri tradisional yang besar. Kedua, serikat buruh juga terlalu disibukkan dengan persoalan diri mereka sendiri tanpa mampu membuat kaitan dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Ringkasnya, ia tidak mampu menjadi sebuah agen perubahan di dalam masyarakat dan justru semakin menopang bekerjanya sistem kapitalisme. 
Menjadikan organisasi buruh sebagai institusi nasional mungkin merupakan gagasan menarik yang ditawarkan Kagarlitsky. Di Indonesia kita mungkin bisa membandingkannya dengan lembaga sosial seperti pesantren yang menjadi wadah sosio-kultural-ekonomi dari para petani di pedesaan dan sekaligus membentuk watak dari orang-orang desa. Persoalannya di sini adalah bagaimana serikat buruh menjadi sebuah institusi dengan tradisi yang mengakar dalam masyarakat, bukan sekedar advokasi dan perlindungan hak-hak kaum buruh (sindikalisme dalam pandangan Kagarlitsky) dan tidak mampu berbuat banyak terhadap masalah-masalah nasional mereka. 
Uraian selanjutnya adalah kritik tajam terhadap gagasan-gagasan alternatif yang lahir, mulai dari gerakan lingkungan, gerakan perempuan atau, dengan kata lain, politik identitas yang semakin mendapatkan tempat dengan merosotnya gerakan buruh sebagai basis sosial utama gerakan sosialis abad 19 dan 20. Kagarlitsky dalam ulasan ini juga menjelaskan keruwetan-keruwetan dalam cara berpikir teoritisi kiri dengan agenda sosialis mereka seperti Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, yang menyarankan hegemoni sosialis dengan kenyataan bahwa sesungguhnya kita tidak mendapatkan apapun dari agenda hegemoni tersebut sekaligus agenda politik sosialis dalam pemikiran politik yang mereka tawarkan. Bahwa radikalisme yang mereka berikan tidak lebih dari sekedar manifestasi politik liberal dengan jargon sosialis, yang sekaligus menjelaskan mengapa mereka bisa populer dan diterima dalam lingkungan akademis karena kemandulan politik dan ideologinya. Serangan tajam juga ditujukan pada organisasi LSM yang menyuarakan advokasi serta pemberdayaan dan pada saat yang sama melemahkan politik sosialis. Kagarlitsky menguraikan ilustrasi-ilustrasi tentang kenyataan tersebut dalam lingkup global, termasuk peran LSM di dunia ketiga yang saat ini lebih terperangkap pada agenda memuluskan organisasi-organisasi privat seperti TNC (transnational corporation) di Indonesia, dengan semakin kehilangan raison d’etre dari visi dan misi yang mereka sampaikan. 
Penutup 
Triologi Kagarlitsky adalah sebuah bacaan inspiratif. Paling tidak, mendesakkan kepada kita di Indonesia sekarang ini untuk berpikir tentang bagaimana agenda politik sosialis dapat diterapkan. 
Pertama adalah ajakannya untuk bisa lebih kreatif dalam berpikir. Kita tidak lagi bisa membaca karya-karya klasik seperti menghapal kitab suci dan merasa memiliki otoritas dalam cara seperti itu. Teoritisi kita harus mampu membedah persoalan-persoalan dalam masyarakat sesuai dengan kondisi empiris dan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan visi ideologi sosialis di dalamnya. Kedua, adalah seruannya untuk memperhatikan sebuah agenda politik ‘nasional’ sebagai titik tolak dalam melawan globalisasi yang mencengkram masyarakat dunia. Ketiga adalah sebuah tawaran keyakinan bahwa kita berjuang untuk prinsip yang kita yakini, bukan sekedar sebuah pengetahuan dalam kepala. Bahwa keadilan sosial dan kemakmuran bersama adalah sebuah prinsip, sebuah nilai dan sebuah cita-cita yang melandasi perjuangan kita dan menciptakan pemikiran-pemikiran baru dalam berbagai bidang pengetahuan, bukan sebaliknya. Dan keempat, adalah tantangan bagi kita untuk dapat mengenal lebih dalam persoalan-persoalan yang ada pada kehidupan masyarakat Indonesia sekaligus bersentuhan dengan dinamikanya. Politik sosialis tidak akan berjalan hanya dalam sebuah diskursus yang dibuat di atas kertas dan dibahas dari balik meja tanpa persentuhan dengan persoalan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, termasuk dinamika politik yang terjadi. 
Membaca Kagarlitsky dalam kaitan ini, mengingatkan kita bahwa Indonesia kehilangan kekuatan Jacobin yang mampu membangun national popular will seperti dipermasalahkan Gramsci dalam The Modern Prince berkait dengan masalah di Italia pada dekade 1920an.

Studi Hukum Nasional dan Internasional


 
Sebagai sebuah disiplin ilmu, hukum internasional tentu memiliki batasan-batasan, ruang lingkup pembahasan, serta hal-hal ynag membedakannya dengan disiplin ilmu yang lain. Mochtar Kusumaatmadja (1999) mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain (Kusumaatmadja, 1999:2). Sedikit berbeda, Profesor Charles Cheny Hyde dalam J.G. Starke menyatakan bahwa hukum internasional merupakan sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan tentang perilaku yang harus ditaati oleh negara-negara dan dalam hubungan antaranya, serta mencakup pula organisasi internasional dan peraturan hukum yang berkaitan dengan individu atau subyek non-negara selama hak dan kewajibannya bersangkutan dengan dunia internasional (Starke, 2004:3). 
 
Dalam sejarahnya, hukum internasional sudah ada sejak jaman negara-kota Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Terdapat dua jenis hukum yang berlaku kala itu, yakni Ius Ceville yang berlaku pada masyarakat Romawi, dan Ius Gentium yang berlaku pada mereka yang selain berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya Ius Gentium ini berganti nama menjadi Ius Inter Gentium dan di adopsi oleh negara-negara di sekitarnya, dengan nama Volkenrecht (Jerman), Law of Nations (Inggris), dan Droit de Gens (Perancis) (Kusumaatmadja, 1999:4). Hukum internasional semakin pesat berkembang utamanya setelah Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakui kedaulatan negara sebagai subjek hukum internasional. Pemikiran hukum internasional modern juga dipengaruhi oleh pemikiran para kaum naturalis dan positivis. Kaum naturalis beranggapan bahwa sistem hukum yang ada mengikuti hukum alam dan bersumber pada ajaran Tuhan. Tokoh kaum naturalis antara lain Grotius, Francisco de Vittoria, Hugo de Groot, dll. Sementara itu kaum positivis beranggapan bahwa hukum dan prinsip sehari-hari dibuat oleh kemauan dan kepentingan manusia sendiri. Tokohnya antara lain Jean Jacques Rousseau, Emerich de Vattel, Cornelius van Bynkershoek, dll (Mauna, 2003:6). 
 
Di abad ke-19 hukum internasional dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Diadakannya Kongres Wina 1815 yang bertujuan untuk membuat kesepakatan atas prinsip dan hukum internasional melalui perjanjian dan pakta. Berakhirnya Perang Dunia II di pertengahan abad 20 juga ditandai oleh lahirnya banyak negara baru. Dengan demikian semakin banyak perjanjian dan pakta yang dibuat antarnegara baik secara bilateral, regional, mapun multilateral. Hal ini menandakan perkembangan hukum internasional pasca Perang Dunia II cukup pesat. 
 
Mengenai ruang lingkup, hukum internasional mencakup tiga disiplin hukum, yakni hukum internasional publik (public), yang meliputi aturan, hukum adat istiadat yang mengatur dan memonitor pelaksanaan dan transaksi antarnegara dan atau antar warga negara; hukum internasional perdata (private), yang menangani sengketa antara pribadi warga negara dari negara yang berbeda; dan hukum supranasional, yang berwenang untuk membatasi hak-hak negara secara kolektif dalam suatu hal. 
 
Secara umum hukum internasional tentu berbeda dengan hukum nasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain teori monisme, dualisme, dan konvergensi. Teori monisme beranggapan bahwa semua hukum sebagai sebuah kesatuan tunggal yang mengikat baik negara, individu, maupun entitas hukum internasional lainnya. Dengan kata lain hukum merupakan sebuah aturan universal yang mengikat seluruh individu baik sebagai hukum nasional mauoun hukum internasional. Hans Kelsen dalam Starke (2004) berpendapat bahwa kaidah hukum baik internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan satu sama lain, meskipun masih dalam tatanan abstrak. Oleh karena itu paham ini menuntut tingkat preferensi antara kedua sistem tersebut (Starke, 2004:97). Sementara itu teori dualisme merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran positivisme klasik yang melandaskan hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai entitas hukum internasional. Teori konvergensi. 
 
Contoh kasus mengenai kaitan hukum internasional dan hukum nasional adalah misalnya adalah hukum migrasi nasional dan internasional. Indonesia merupakan anggota dari organisasi migrasi internasional IOM (International Organization for Migration) yang mengatur tentang migrasi internasional serta mencegah kemungkinan terjadinya perdagangan manusia di era globalisasi. sehingga meskipun di Indonesia sendiri masalah migrasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992, pemerintah Indonesia mau tidak mau juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh IOM yang juga beranggotakan negara-negara lainnya. 
 
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum internasional secara umum berasal dari hukum-hukum nasional negara-negara yang ada kemudian digabungkan menjadi sebuah hukum internasional dengan berbagai penyesuaian. Hukum internasional sendiri terdiri atas hukum publik, hukum perdata, dan hukum supranasional. Ia sudah mulai berkembang sejak jaman Yunani dan Romawi Kuno dan terus berkembang hingga saat ini. Mengenai perbandingannya dengan hukum nasional, ia bergantung pada konteks. Ada saat dimana ia menjadi lebih tinggi dari hukum nasional, misalnya hukum supranasional yang ditetapkan oleh PBB dan Mahkamah Internasional. Namun ada pula saat dimana otoritasnya sejajar atau bahkan lebih rendah dari hukum nasional.
Referensi:
Buku:
Kusamaatmadja, Mochtar. 1999. Pengantar Hukum Internasional. Cetakan ke-9. Bandung: Putra Abardin
Starke, J.G. 2004. Pengantar Hukum Internasional [terj]. Jakarta: Sinar Grafika.
Internet:
IOM. t.t. Overview. Tersedia pada http://www.iom.or.id/about.jsp?lang=eng[diakses pada 18 September 2012]