Percikan Metropolitan

Part III

Bicara soal mata ternyata harus menggunakan hati. Atas apa yang dirasa dengan sosok yang paling istimewa. Berharap ini sebuah keberuntungan atas kesadaran saling memiliki dan perhatian yang disepakati bersama melalui media CINTA. Sungguh, kali ini membuat hidup tambah berwarna. Kamu ajari aku untuk selalu teguh dalam perjuangan. Akan selalu setia dengan kesabaran. Sampai pada tahapan kita tidak terus untuk bersamapun. Kau menggodaku lewat senyum dan tawamu yang terus menghantui dalam setiap lamunan.

Memang, aku sang Macan yang terus meraung ketika ada ketidakjelasan segala kontradiksi kehidupan yang harus berpihak dan melawan segala bentuk penindasan. Serta, kamu pernah katakan “kau adalah orang yang sangat menyukai organisasimu. Sehingga, kau tidak punya kesempatan untuk berfikir tentang dirimu sendiri”. Tapi dengan kali ini dan berikutnya. Aku luluh, seumpama besi kau panggangi aku diatas tumpuan Api yang sangat panas yang aku maknai kasih sayang dan bunga dibalik jeritan aktivis gerakan Sang Demonstran.

Aku tak pernah mengganggap pertemuan kita laksana Romeo dan Juliet yang dipertemukan lewat Media Coklat. Tapi, kuanggap pertemuan kita sakral yang dipertemukan dalam kerangka intelektual. Saling memotivasi, terus berfikir yang berkemajuan. Serta berkenginan cita-cita kehidupan yang tinggi demi tercapainya sebuah impian. Atas apa yang kamu inginkan maupun atas apa yang kuideologisasikan.

Ternyata Cinta dibalik perbedaan tidak membuat segala kegundahan. Asalkan aku mengerti atas apa yang kamu kerjakan dan kamu memahami atas apa yang kurelaksasikan.

Bunderan kujadikan saksi. Bila, kuberpaling. Maka, kau bunuhlah aku dengan sejuta kerinduan. Bukan sekedar ucapan ikatan nuranilah yang memberikan keberanian kuberucap demikian.

0 komentar:

Posting Komentar