LONGMARCH - Ratusan warga yang tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal melakukan aksi longmarch menuju Baklai Desa Palihan, kecamatan Temon, sembari membawa berbagai spanduk dan poster penolakan bandara, kemarin (21/11).
Penolakan atas Bandara Internasional di Kulonprogo
=======================
“Silakan bangun bandara di laut atau di mana, asal jangan di atas lahan kami. Sampai kiamat, kami akan menolak!” kata juru bicara Wahana Tri Tunggal, Martono, pada 2 Mei 2013. Ada sekitar 600 warga setempat yang menyatakan menolak meski pemerintah memberi ganti rugi. “Ya, silakan bagi warga yang menerima. Tapi, kami yang menolak, ya, tetap menolak dengan ganti rugi apapun,” kata Martono, "Kalau pemerintah nekad, kami lebih nekad!”.
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/28/058483925/Bangun-Bandara-Baru-Yogya-Gusur-Ratusan-Keluarga
Aksi berjalan kaki para warga desa Glagah, Sindutan dan Palihan itu dimulai dari titik kumpul di Gereja Palihan menuju Balai Desa Palihan, kecamatan Temon. Lalulintas di jalan Purworejo-Yogyakarta sempat terhenti beberapa menit ketika rombongan warga melintas. Warga kemudian masuk ke dalam Balai Desa ditemui perangkat desa, camat Temon, Kapolsek dan Danramil.
Sesepuh WTT, Sarijo, mengatakan bahwa warga tetap berkomitmen menolak rencana hadirnya bandara internasional di wilayah Temon. Pihaknya meminta pemerintah desa lebih peka terhadap aspirasi penolakan dari warga tersebut.
"Masyarakat sudah semakin was-was dengan rencana itu. Kami menolak pembangunan bandara itu dan tidak ingin tergusur dari tanah kami," kata dia.
Kesimpangsiuran informasi seputar proyek tersebut yang terjadi selama ini juga sangat meresahkan warga. Hal itu diperparah dengan sikap diam pemerintah yang tak juga kunjung memberi penjelasan pada warga. Warga lainnya, Sudirman, mengatakan bahwa belakangan ini beredar kabar menyesatkan bahwa warga yang menolak pembangunan tersebut nantinya akan diciduk petugas.
Hal ini jelas sangat mengintimidasi warga dan membuat warga tertekan. Dia menyayangkan sikap pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan jajarannya yang terkesan tidak memberi penjelasan apapun terhadap warga.
"Lihat saja di pertemuan ini. Bupati, Sekda, atau yang mewakilinya tidak ada yang hadir. Seolah-olah melemparkan tanggungjawab pada bawahannya karena tidak mau ditekan," serunya.
Dia menegaskan, masyarakan setempat tidak membutuhkan bandara. Karena, kehadiran bandara tersebut nantinya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Sementara, rakyat kecil justru menderita dan kehilangan tanahnya. "Kalau bupatinya pintar, tanpa bandara pun Kulonprogo bisa maju," imbuhnya.
http://jogja.tribunnews.com/2013/11/22/paguyuban-wahana-tri-tunggal-longmarch-tolak-bandara-temon/
Pusat strategis Proyek Bandara
Lahan Pertanian yang akan dijadikan Bandara
Pernyataan Kepala Daerah Setempat
(MP3EI, JMI Magasa Iron & PT Angkasa Pura)
---------------------------------
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Meski gelombang penolakan warga terus meningkat, Pemda DIY tidak akan turun tangan dan ikut mengintervensi proses sosialisasi pembangunan megaproyek bandara di Kulonprogo. Proses sosialisasi tentang bandara sepenuhnya merupakan tanggungjawab Pemkab Kulonprogo. Sedangkan Pemda DIY bertugas dalam kepengurusan perizinannya.
“Kan sudah ada Pokja-pokjanya sesuai dengan SK Gubernur. Pemda DIY tidak akan action apapun,” ucap Kepala Bappeda DIY Tavip Agus Rayanto dijumpai di kantornya, Rabu (15/1/2014).
Baginya, respon penolakan warga ialah hal lumrah karena proyek bandara ini memang bukanlah proyek padat karya yang serta merta menyerap tenaga kerja dari warga setempat. Bandara tentu lebih membutuhkan tenaga kerja teknis dengan dukungan teknologi tinggi. Karenanya, dalam proses sosialisasi itupun, Pemkab harus memikirkan peran warga setempat setelah bandara ini jadi. Tidak sekedar tanahnya dibeli saja. Tapi bagaimana agar masyarakat sekitar ini juga punya peran dan diuntungkan atas keberadaan bandara.
“Atau hanya jadi penonton?” tuturnya.
Sosialisasi yang belum optimal, jelas menjadi penyebab utama adanya penolakan itu. Masih ada sejumlah warga yang belum menerima informasi terkait pembangunan bandara secara utuh. Otomatis, mereka yang belum terinformasi inilah yang menolak keras.
“Kalau sosialisasi intensif, lama-lama nanti penolakannya juga berkurang seperti kasus rencana pembangunan PT JMI dulu,” tandasnya.
Seperti diketahui, sejumlah warga yang tergabung dalam Paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) bersikeras menolak pembangunan bandara baru itu dengan mencabut patok-patok pembatas lahan yang telah dipasang. Mereka bahkan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut turun tangan mengawasi proyek ini. Hal itu karena adanya kecurigaan WTT terhadap sikap Pemda yang bersikeras menjalankan proyek yang terang-terangan ditolak warga itu.
Menanggapi hal itu, Tavip justru kebingungan. KPK tidak selayaknya mengintervensi Pemda DIY dalam pelaksanaan pembangunan bandara. Sebab, tidak ada sepeserpun APBD DIY yang dialokasikan untuk proyek bandara.
“Kalau menyangkut KPK, itu artinya ada penyimpangan uang. Padahal Pemda tidak pegang uang apapun. Dalam APBD juga tidak ada alokasi untuk bandara. Saya jadi tim saja tidak dapat apa-apa, honor juga tidak ada,” jelas Tavip.
Termasuk untuk pembebasan lahannya pun, anggaran sepenuhnya berasal dari PT Angkasa Pura selaku pemrakarsa proyek bandara serta para investor-investornya.
Sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga pernah menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengintervensi proses sosialisasi ke warga. Sebab, itu adalah kewenangan Pemkab Kulonprogo. Namun HB X menegaskan bahwa megaproyek bandara internasional harus terealisasi.
“Pembangunan bandara ini sudah masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sudah jadi program nasional. Jadi harus bisa terealisasi,” ucap HB X dijumpai di kantornya di Gedhong Wilis Kepatihan, Senin (13/1/2014).
Kepala Bappeda DIY Tavip Agus Rayanto membenarkan hal itu.
“Suka tidak suka, proyek bandara ini memang dibutuhkan. Sebab, bandara Adisutjipto sudah tidak representatif melihat dari kondisi kepadatannya dan seringnya dipakai latihan AU,” ucap Tavip, sehari sebelum mengikuti pertemuan dengan Kemenhub RI di Jakarta.
Tak mau ikut campur sosialisasi ke warga, Pemda DIY justru tengah focus menyelesaikan permasalahan antara PT Angkasa Pura selaku pemrakarsa bandara yang bersinggungan dengan PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang akan membangun pabrik pengolahan bijih besi (pig iron) di lokasi yang berdekatan dengan bandara.
“Pemda DIY itu tugasnya membantu menyelesaikan kesepakatan antara PT Jogja Magasa Iron (JMI) dengan PT Angkasa Pura di Jakarta besok (hari ini, Red) bersama dengan Kemenhub RI,” papar Tavip.
Sesuai perencanaan awal, pembangunan fisik bandara seharusnya bisa dimulai pada tahun 2015. Artinya, proses sosialisasi, pengukuran hingga pembebasan lahannya dan berbagai masalah lainnya harus sudah selesai tahun ini. Tapi Pemda DIY nampaknya tidak mungkin saklek dengan tata kala itu. Mereka harus melihat perkembangan kondisi social di sana. Terlebih, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta agar dua proyek besar yang sama-sama akan dibangun di Kulonprogo ini bisa operasional semua. Tidak ada yang digagalkan. Sebab, keduanya berpotesi medongkrak pertumbuhan ekonomi di tanah menoreh itu.
“Ya makanya, besok itu kita lihat hasil pertemuan dan keputusannya dari Kementerian Perhubungan di Jakarta. Sebab, dokumen Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP) nya juga masih menunggu hasil teknis pertemuan besok itu,” paparnya.
Dalam pertemuan itu, rencananya akan dipaparkan tentang rincian teknis atas kesepakatan lisan yang telah dibuat PT Angkasa Pura dengan PT JMI bersama Gubernur. Yakni kesiapan PT JMI memundurkan pabriknya serta kesiapan Angkasa Pura menggeser landasannya.
“Itu kan baru komitmen lisan, makanya akan di-breakdown dalam pertemuan itu,” tandasnya.
Invasi Asing Pemodal yang Seenak dan Semaunya
-----------------------------------------
Kulonprogo, CyberNews. Berbagai megaproyek yang akan dibangun di pesisir selatan Kulonprogo perlu sinergis agar tidak saling berbenturan, seperti antara rencana penambangan pasir besi dengan pembangunan bandara. PT Jogja Magasa Iron (JMI) diminta tidak membangun cerobong dengan ketinggian lebih dari 45 meter agar tidak mengganggu ruang penerbangan.
Permintaan itu disampaikan Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura I Miduk Situmorang dalam rapat koordinasi dengan Pemkab Kulonprogo yang juga dihadiri pihak investor JVK dari India, di Gedung Binangun kompleks Pemkab, Senin (26/9). Menurutnya, ruang penerbangan di sekitar bandara harus bebas dari bangunan-bangunan tinggi. Ruang itu terbagi dalam tiga zonasi, yakni zona I ketinggian bangunan harus di bawah 45 meter, zona II di bawah 100 meter, dan zona III di bawah 150 meter.
“Cerobong dengan ketinggian 45 meter di zona I akan mengganggu penerbangan. Sehingga kami meminta agar cerobong tidak lebih dari ketinggian itu,” katanya usai rapat.
Mengenai lokasi pembangunan bandara, Minduk menyatakan belum bisa memastikan karena harus menunggu hasil studi terlebih dulu. Dalam proses pembangunan bandara, PT Angkasa Pura bekerjasama dengan JVK, investor dari India yang akan mendanai studi. Perusahaan itu dinilai telah berpengalaman dalam pengelolaan bandara yang ada di daerah pemukiman berpenduduk padat.
Minduk mengatakan, mengingat mendesaknya kebutuhan untuk peningkatan pelayanan, pembangunan bandara akan lebih baik bila dilakukan lebih cepat dengan tetap sesuai prosedur.
“Sehingga memang pembangunan bandara sangat diperlukan,” katanya. Pihaknya optimistis pembangunan bandara pengganti Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah bisa terealisasi pada 2015 mendatang.
Sementara Sekretaris daerah (Sekda) Kulonprogo, Budi Wibowo mengatakan, megaproyek yang akan dibangun di pesisir selatan Kulonprogo memang perlu sinergis dan saling mendukung. Terkait permintaan PT Angkasa Pura agar PT JMI tidak membangun cerobong asap lebih dari 45 meter, menurutnya tidak masalah. Pihaknya telah berkoordinasi dengan PT JMI dan perusahaan itu bersedia menyesuaikan. “PT JMI tidak keberatan dengan permintaan itu,” imbuhnya.
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2011/09/26/97489
Refleksi :
"Apakah memang Rakyat tidak pernah untuk menjadi seorang yang merdeka menghuni ditanahnya sendiri. Mereka digusur diinjaki oleh kekuatan para pemodal yang selalu saja memberikan sejuta pemimpi. Bagi mereka, Tani adalah ranjang kehidupan mereka untuk makan dan minum. Tanah adalah tempat peristirahatan mereka yang layak untuk mereka tempati. Kalo udah digusur penguasa dan pemodal yang bisa ketawa dan senyum menikmati atas sejuta penderitaan rakyat yang gigit jari dan menikmati kebisingan pesawat pulang pergi. Sekalipun mereka tidak punya keinginan untuk naik pesawat."
0 komentar:
Posting Komentar