Sumber : https://www.google.co.id
Rencana pembangunan bandara Internasional Kabupaten Kulonprogo yang sudah memasuki tahapan masalah tawar-menawar ganti-rugi yang dilakukan oleh tim Appraisal. Kini, selanjutnya menjadi pertanyaan besar ketika Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) dilupakan begitu saja oleh pemangku kebijakan setempat; Pemda DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Kita seharusnya belajar dari tragedi stunami di provinsi Aceh, Negara Jepang dan sebagainya. Mengapa demikian, sudah menjadi hukum alam bila disuatu wilayah sudah ditetapkan sebagai zona merah gempa yang berskala-besar. Maka, tidak menutup kemungkinan diwilayah tersebut akan mengalami tsunami yang berskala-besar pula bila zona merah gempa yang sudah ditetapkan sangat dekat dengan bibir pantai. Selanjutnya, gambarannya sudah cukup jelas bila rencana pembangunan bandara Internasional Kabupaten Kulonprogo akan dibangun berdekatan dengan bibir pantai selatan jawa (Samudera Hindia), tanpa melihat kondisi alam yang jelas-jelas sudah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana, maka tidak menutup kemungkinan kondisi pembangunan bandara Internasional Kabupaten Kulonprogo, nasibnya akan sama nantinya seperti di provinsi Aceh, Negara Jepang dan Sebagainya. Mengapa demikian, melihat masterplan percepatan pembangunan sangat dekat dengan bibir pantai selatan jawa, dilain sisi konsep masterplan perencanaan bandara yang sifatnya Aero city (Konsep Perkotaan). Tentu, kondisi alam tidak akan seimbang nantinya dengan kostur tanah yang bisa saja mengalami abrasi dan zona merah gempa; tsunami, yang kedatangannya tidak bisa diprediksi bisa terjadi kapan saja diwilayah rencana pembangunan bandara Internasional Kabupaten Kulonprogo.
Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawa bencana alam geologi (pasal 46 Ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik perda Provinsi DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a). Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung geologi. Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah pantai diselatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan gempa yang dapat memicu tsunami. Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar. Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara Internasional Kulonprogo cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulonprogo yang diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai 6 meter dan terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33-40 setelah gempa. Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang. Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16 Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi (16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.
[1]
Sejak awal bukankah sudah ditegaskan oleh warga yang menolak keberadaan megaproyek bandara tersebut, bahwa rencana pembangunan bandara tersebut seyogyanya berdampak pada kelestarian lingkungan kehidupan warga setempat diantaranya perusakan ekosistem gumuk pasir; gumuk pasir disepanjang pesisir selatan Yogyakarta merupakan salah-satu bentang alam eolian di Indonesia. Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan 1 dari 14 gumuk pasir di dunia yang mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap bencana laut. Pembangunan bandara di kawasan ini akan mengakibatkan hilangnya gumuk pasir sekaligus menambah resiko wilayah sekitarnya menjadi kawasan bencana.
[2] Kini, artinya kita berharap pihak Pemda DIY bisa berfikir ulang tentang rencana pembangunan bandara Internasional Kabupaten Kulonprogo, yang rencana megaproyek tersebut sudah ditetapkan di enam desa; Desa Glagah, Desa Palihan, Desa Sindutan, Desa Jangkaran, Desa Kebon Rejo, dan Desa Temon Kulon. Karena jelas, bahwa diwilayah tersebut benar-benar tata ruang yang sangat rawan oleh bencana gempa dan tsunami.
[1]Yogi Zul Fadhli, “Bandara di Ruang Bencana” Buletin Edisi Bandara, 25 Juni 2016. h 18-20
[2]Wahana Tri Tunggal “Kertas Posisi Perjuangan Masyarakat di Kulonprogo-Yogyakarta,” Press Release, 28 April 2015.