The Act Of Killing

Sebuah film mengenai gejolak pada tahun 1965 di Indonesia yang dihadirkan dilaga perfilman Indonesia. Film dokumenter sejarah kelas peristiwa G30s. Disutradarai oleh Joshua Oppen Heimer warga Negara Amerika. Mengapa penulis ingin mengangkat film tersebut. Dikarenakan film ini mengandung paradigma maupun opini yang berkembang dimasyarakat atas fakta yang telah diangkat pada naskah film tersebut. Secara synopsis yang diangkat pada film tersebut bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop. Mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Ditahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

Setelah itu Dalam Jagal dikatakan, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada kami. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Kami menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah. Kemudian, Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri. Selengkapnya bisa di tonton pada fim Jagal (The Act Of Killing).

Melihat semakin komplitnya deskripsi sinopsi yang diangkat oleh jagal. Maka, penulis ingin mengklarifikasi ulang terhadap skema perfilman yang dibungkus sedemikian rupa. Kemudian, dituangkan dalam bentuk video. Kemudian menghasilkan paradigm dan opini yan berbeda terkait fakta yang ada pada film tersebut. Memang kejadian 65-66 menjadikan saksi bisu yang belum bias diungkap secara detail konkrit kebenarannya. Namun, penulis percaya bahwa Kader-kader PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi korban politik berdarah pada waktu itu. Banyak referensi buku yang menjadi alasan penulis ingin mengangkat kasus ini kembali. Namun, dilain sisi penulis lebih dekat dengan analisa film (Filmologi). Berbeda dengan pemikir yang mungkin menggunakan konsepsi sosiologi dan politik dalam menganalisa kebenaran kejadian tersebut.

Belum lagi persoalannya lainnya. Bahwa perusahaan yang melakukan produksi film tersebut dituntut oleh pihak-pihak terkait. Film The Act of Killing adalah bagian dari penelitian pascadoctoral Joshua Oppenheimer  di Central Saint Martins College of Art and Design, University of The Arts London. Sebagian pendanaannya berasal dari Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris. Film dokumenter tentang pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di Sumatera Utara, sekitar tahun 1965. Memuat sudut pandang pelaku yang tercitrakan sebagai sosok pembunuh berdarah dingin. Pemuda Pancasila akan menggugat sang sutradara.

Berikut petikan wawancara lewat surat elektronik antara Averoes Lubis dari GATRA dengan Joshua Oppenheimer:

Film ini sekurangnya membawa pesan bahwa kita tidak mudah menyebut diri kita orang baik dan para pembunuh itu orang jahat, hanya karena menganggap diri kita sangat berbeda dari mereka. Mereka adalah psikopat, atau monster, sementara kita bukan. Kita bisa memberi label apa saja kepada orang lain, tapi itu tidak akan membuat kita menjadi lebih baik.

Dan satu-satunya hal yang benar-benar kita ketahui tentang manusia yang membunuh manusia lain adalah bahwa mereka juga manusia. Seperti kita. Anwar Congo adalah seorang manusia, juga orang yang memberinya perintah untuk membunuh, bahkan Hitler sekalipun juga manusia. Kita semua adalah manusia yang bisa salah mengambil keputusan karena kita melihat dunia (kadang tanpa disadari) dengan cara yang salah.

Tidak mudah bagi kita, sebetulnya, membedakan antara yang fiksi dan yang nyata. Kita seringkali tidak tahu yang nyata itu yang mana. Dalam kesulitan ini, setiap hari, kita harus mengambil keputusan dan bertindak atas keputusan itu. Kita bisa memilih untuk terus hidup dalam fantasi yang nyaman, sampai suatu saat terantuk bahkan terbentur realitas. Atau kita bisa terus-menerus mempertanyakan apa yang kita lihat dan apa yang kita pahami selama ini sebelum kita meyakinkan diri sendiri bahwa kita bukan orang jahat.

Akhirnya, ada perbedaan nyata antara lupa, tidak tahu, dan tidak peduli. Dan kita harus terus-menerus melawan ketiganya.

Terima kasih dan salam hormat,
Joshua Oppenheimer

(versi yang lebih singkat ada pada majalah Gatra, 10 Oktober 2012).

Demikiian persepsi yang bisa penulis jabarkan mengenai Filmologi The Art Of killing. Setidaknya menjadi penelitian yang berkelanjutan dan perlu untuk didiskusikan diruang-ruang yang ilmiah khususnya analisa filmologi.


0 komentar:

Posting Komentar