“Ah, film itu betul-betul cuma tempat cari makan saja,
bukan untuk memperjuangkan cita-cita”
Wahyu Sihombing
Bicara mengenai film Indie memang tiada habisnya. Apalagi diindonesia yang memang banyak dibanjiri oleh kalangan remaja maupun mahasiswa untuk berlomba-lomba berkreatifitas memproduksi film Indie.Namun, bila film sudah terrealisasi para pekerja film Indie kesulitan merelokasi distribusi film indie. Alasannya adalah :
1. Film indie lebih mengedepankan independentsial serta tidak ternaungi oleh perusahaan swasta (PT dan CV) serta dana dari perseorangan dan sekelompok orang.
2. Dikarenakan Film indie tidak dinaungi oleh perusahaan maupun naungan apapun. Sehingga memunculkan persepsi para filmmaker tidak berada dalam tuntutan yang mengharuskan mereka mendirect film sesuai dengan kemauan.
3. Kepastian banjirnya perusahaan film membuat segala komunitas film. Termasuk Indie harus berkompetisi hebat dengan karyanya untuk bersaing dengan produksi film indie (Film Mayor). Kesulitan didalam pendistribusian dan pengrelokasian film indie, dikarenakan tidak memiliki instansi yang jelas, dan kesulitan untuk mendistribusikan film mereka dari persaingan film mayor yang memang memiliki modal besar dalam pendistribusiannya. Masyarakatpun juga memilki kesulitan dalam menonton film indie, dikarenakan publikasi dalam filmnya sangat terbatas, hingga penonton memilih untuk menonton film-film mayor yang sering ada di bioskop-bioskop, launching besar-besaran, hingga memasang iklan di media televisi, radio, cetak, dan lain-lain. Di Indonesia semarak film indie cukup besar, karena cukup banyak komunitas-komunitas film terlebih di kota seperti Jogjakarta. Namun para filmmaker dan sineas itu tetap memilki kesulitan dalam pengrelokasian distribusi filmnya.
Suasana yang komplit relokasia distribusipun pasti tetap berjalan. Salah-satunya masih ada tempat komunitas film indie di Indonesia saling mengadakan festival film indie dan pendek, untuk menampung karya-karya dan membangkitakan semangat para sineas Indonesia Contohnya: Festival Film Solo, Jogja Asian Film Festival, dan lain-lain. Brand-brand ternama seperti rokok, toko buku, distro, dan lain-lain juga berlomba-lomba untuk membuat festival film indie demi meningkatkan karya film-film indie. Contohnya saja : Festival Film LA indie movie, Festival Film Pendek Fiksi Naratif yang diselenggarakan Gramedia.
Komunitas-komunitas film indie juga mengupayakan film dengan menscreening dan melaunching film-film mereka. Comtohnya : bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memilki jurusan komunikasi, broadcasting, perfilman , dan lain-lain, agar film mereka dapat ditonton oleh masyarakat. Indie tidak terlepas dengan arti kesederhanaan, saking sederhananya para filmmaker indie banyak yang membuat karya-karya tanpa memikirkan keuntungan. Mereka memilki pendapat, bahwa bila masyarakat sudah ingin duduk manis untuk menonton film mereka sudah mampu membuat mereka sangat berharga. Namun, kapan film indie Indonesia dapat dihargai seperti film mayor lainnya? Padahal, film indie banyak yang jauh berkualitas daripada film mayor yang banyak nilai dampak negative dari pada positifnya. Perubahan yang memang harus dilakukan oleh para sineas untuk mendistribusikan film indie dapat dilakukan dengan cara membuat bioskop-bioskop kecil yang dapat berguna untuk pengeksebisian film tersebut. Hingga film indie dapat ditonton dan lebih dihargai seperti film mayor lainnya. Dan pejabat yang mengurusi perfilman di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dapat memberikan kontribusi kepada film maker indie Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar