{mosimage} Aung San Suu Kyi (dibaca Aung Sawn Su Chee) adalah salah satu tokoh pembebasan dan anti kekerasan yang terkenal di dunia, ia telah menjadi tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Burma (sekarang Myanmar) sejak tahun 1988. Suu Kyi lahir pada tanggal 19 Juni 1945, anak kedua dari 3 bersaudara, adiknya meninggal karena tenggelam pada usia sangat muda sedangkan kakaknya akhirnya menetap dan menjadi warga negara Amerika di San Diego California.
Pada tanggal 19 Juli 1947 pada saat Suu Kyi berumur 2 tahun ayahnya dibunuh, Ibunya kemudian menjadi tokoh gerakan sosial yang ternama, memimpin sebuah badan perencanaan dan kebijakan sosial . Pada tahun 1960 Ibunya pergi ke India menemui Duta Besar Burma untuk India dan sejak saat itulah Suu Kyi melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi Shri Ram. Kemudian pada tahun 1964 ia melanjutkan pendidikan di Universitas Oxford dan memperoleh gelar B.A di bidang Filsafat, Politik dan Ekonomi pada tahun 1967.
Selama di Inggris, Suu Kyi tinggal bersama kedua orang tua angkatnya bangsawan Lord Gore-Booth mantan duta besar Inggris untuk Burma dan Komite Tinggi di India dan istrinya. Selama tinggal dengan orang tua angkatnya inilah Aung San Suu Kyi berkenalan dengan Michael Aris seorang mahasiswa yang mengambil jurusan Peradaban Tibet, seorang yang kelak menjadi suaminya. Pada tahun 1969 Suu Kyi kembali melanjutkan studinya ke New York dan tinggal bersama sahabat keluarga mereka yang bernama Ma Than E, seorang staff di PBB yang pada saat itu dipimpin oleh U Thant dari Burma.
Setelah menyelesaikan pendidikannya Suu Kyi bergabung di Sekretariat PBB sebagai asisten sekretaris, komite penasehat administrasi dan keuangan. Pada sore hari dan akhir pekan Suu Kyi menjadi relawan di salah satu rumah sakit, membantu pasien-pasien yang berasal dari keluarga miskin untuk mengajarkan mereka membaca dan persahabatan. Pada tanggal 1 Januari 1972 Michael Aris dan Aung San Suu Kyi menikah, kemudian Suu Kyi mendampingi suaminya pergi ke Bhutan untuk menjadi pengajar bagi keluarga Kerajaan Bhutan di pegunungan Himalaya dan memimpin Departemen Penerjemah sementara Suu Kyi bekerja sebagai peneliti pada kementerian luar negeri Kerajaan Bhutan.
Tahun 1973 mereka kembali ke London untuk melahirkan putra pertama; Alexander, kesempatan ini juga dimanfaatkan Michael Aris untuk memperdalam pendidikannya di bidang Kajian Tibet dan Himalaya di Oxford University. Putera kedua pasangan ini, Kim lahir pada tahun 1977 dan pada masa inilah Suu Kyi mulai menulis, meneliti Biografi Ayahnya dan mendampingi suaminya melakukan kajian-kajian tentang Himalaya. Dari hasil riset terhadap biografi ayahnya inilah Suu Kyi pada tahun 1984 menerbitkan sebuah buku berjudul “Aung San” di sebuah seri pemimpin Asia yang diterbitkan oleh lembaga penerbit Universitas Queensland. Untuk bacaan kaum muda, Suu Kyi menerbitkan buku “Let’s Visit Burma” juga buku mengenai Nepal dan Bhutan pada seri yang sama yang diterbitkan oleh perusahaan penerbitan Burke, London.
Pada tahun 1985 Suu Kyi mendapat kesempatan berkunjung ke Pusat Kajian Asia Tenggara di Universitas Kyoto-Jepang tempat dimana ia melakukan riset terhadap masa-masa kunjungan ayahnya di Jepang. Putera bungsunya, Kim bersamanya saat itu sedangkan Alexander bersama Michael yang sedang menghadiri program persahabatan di sebuah institut di Simla-India Utara. Sebagai penganut Buddhis, Michael dan Suu Kyi memberikan kesempatan kepada kedua putera mereka untuk ambil bagian dalam sebuah upacara tradisional Buddhis menjadi samanera sementara, pada sebuah kunjungan rutin mereka tahun 1986 ke Rangon untuk menjenguk sang nenek; Daw Khin Kyi.
Dari Jepang kemudian Suu Kyi dan Kim bergabung dengan Michael dan Alex di Simla-India pada tahun 1987, kemudian di tahun yang sama ia menerbitkan”Socio-Political Currents in Burmese Literature 1910-1940” di sebuah jurnal di Universitas Tokyo. Tahun ini pula Suu Kyi dan keluarga kembali ke London untuk menemani Ibunya menjalani operasi katarak, kemudian Suu Kyi bekerja di program paska sarjana Perguruan London untuk Kajian Oriental dan Afrika.
Awal bersejarah kembalinya Suu Kyi ke Rangon adalah karena mendapat telepon yang mengabarkan bahwa sang Ibu, Daw Khin Kyi mengalami stroke pada tanggal 31 Maret 1988, Suu Kyi merawat dan mendampingi ibundanya di rumah sakit, kemudian memindahkannya ke rumah mereka di lingkungan sebuah universitas dekat danau Inya di Rangon. Pada saat inilah terjadi pengunduran diri Jenderal Ne Win seorang diktator yang memimpin Burma sejak 1962, hari itu tepat tanggal 23 Juli 1988, para demonstran yang melakukan aksi-aksi protes terus berlanjut hingga meluas dan menjadi aksi demonstrasi massa yang sangat besar dan luas di hampir seluruh wilayah Burma pada tanggal 8 Agustus 1988, pemerintahan militer membalas aksi dengan melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan orang.
Karena menyadari betapa menderitanya rakyat Burma akibat kesewenang-wenangan pemerintahan militer inilah Aung San Suu Kyi memulai aksi politiknya yang pertama pada tanggal 15 Agustus yakni dengan mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah, mempertanyakan susunan Komite Konsultatif Independen untuk Pemilu multi partai, selanjutnya tanggal 26 Agustus ia melakukan orasi di depan Shwedagon Pagoda yang dihadiri oleh ribuan orang untuk menuntut pemerintahan yang demokratis, suami dan kedua puteranya turut mendampinginya. Militer yang mulai gerah dengan manuver Suu Kyi kemudian membentuk State Law and Order Restoration Council (SLORC) tanggal 18 September, pertemuan politik yang dihadiri lebih dari empat orang dilarang, penangkapan dan interograsi tanpa pengadilan mulai terjadi terhadap para aktivis. Di tengah-tengah kondisi politik memanas inilah National League for Democracy (NLD) didirikan yakni pada tanggal 24 September, Aung San Suu Kyi terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Kebijakan partai adalah anti kekerasan dan pembangkangan sipil. Tiga bulan selanjutnya Suu Kyi aktif melakukan orasi-orasi ke berbagai daerah dengan melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar menentang larangan yang dibuat SLORC.
Pada saat meninggalnya Daw Khin Kyi; sang Ibunda, tanggal 27 Desember 1988 pada usia 76 tahun yang pemakamannya dihadiri oleh ratusan ribu orang tanggal 2 Januari 1989 itu, Aung San Suu Kyi menyatakan bahwa sebagaimana Ayah dan Ibunya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi rakyat Burma, maka ia pun bersumpah akan berjuang bagi rakyat Burma hingga kematian menjemputnya. Hingga juli kemudian ia terus melakukan kampanyenya walaupun intimidasi, penangkapan dan pembunuhan oleh tentara terus berlanjut. Menjelang pemilihan umum, tanggal 17 Februari Suu Kyi dinyatakan dilarang mengikuti pemilu. Pada tanggal 5 April terjadi sebuah tragedi di Delta Sungai Irawaddy pada saat itu dengan sangat berani Aung San Suu Kyi berjalan menuju para tentara yang ingin menangkapnya. Selanjutnya Suu Kyi dijebloskan dalam tahanan rumah, tanpa tuntutan ataupun pengadilan.
Kedua puteranya turut mendampingi, Michael dating pada hari ketiga, pada saat itu Aung San Suu Kyi melakukan mogok makan selama 3 hari meminta agar dirinya dikirim ke penjara bergabung bersama-sama mahasiswa yang ditahan disana, aksi ini berhenti setelah militer berjanji akan memperlakukan para mahasiswa dengan lebih baik. Karena merasa tidak mampu mempertahankan cengkeramannya terhadap kekuasaan, junta militer kemudian mempercepat pelaksanaan pemilu pada tahun 1990. Hasilnya adalah kemenangan NLD dengan menguasai 82% kursi di parlemen. SLORC menolak hasil pemilu ini dan tetap mempertahankan pemerintahan junta militernya.
Aung San Suu Kyi telah memenangkan banyak penghargaan internasional, 12 Oktober 1990 ia dianugerahi Penghargaan HAM Rafto, Penghargaan HAM Sakharov dari Parlemen Eropa 10 Juli1991, pemenang Penghargaan Perdamaian 1991 dari Komite Nobel Norwegia pada tanggal 14 Oktober 1991, Medali Kemerdekaan dari Kepresidenan Amerika Serikat, dan Penghargaan Jawaharlal Nehru-India. 10 Desember 1991 mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian. Pada tahun yang sama buku “Freedom from Fear” diterbitkan oleh Penguin di New York, Inggris, Kanada, Australia, New Zealand, juga diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Norwegia, Perancis dan Spanyol.
Setelah memperoleh Nobel, Suu Kyi mengumumkan pada tahun 1992 bahwa hadiah berupa uang sebesar US$ 1,3 juta akan digunakan untuk membangun kesehatan dan pendidikan bagi rakyat Burma. Pada tahun 1993, sekelompok penerima Nobel tidak diijinkan memasuki Burma oleh pemerintah militer, kemudian mereka mendatangi para pengungsi Burma di perbatasan Thailand dan menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi. Seruan mereka kemudian dikumandangkan kembali di Komisi HAM PBB di Jenewa. Kontak pertama Suu Kyi dengan orang luar selain keluarganya sejak ditahan adalah pada tahun 1994 yakni pada bulan februari, pemerintahan junta militer Burma mengijinkan perwakilan PBB, anggota kongres Amerika, dan reporter New York Times. Kemudian bulan September-Oktober pimpinan SLORC menemui Suu Kyi yang terus menuntut diadakannya dialog publik.
10 Juli 1995 akhirnya Aung San Suu Kyi dibebaskan setelah 6 tahun penahanan, namun pemerintah Junta Militer Burma yang senantiasa gentar oleh keberanian dan konsistensi Suu Kyi kembali menahannya pada tahun 2000-2002 tanpa alasan yang jelas, kemudian kembali ditahan dibalik jeruji bulan Mei 2003 dengan alasan keamanan dirinya, setelah peristiwa berdarah yang menewaskan lebih dari 100 orang pendukungnya karena di serang oleh kroni-kroni rejim militer dan narapidana yang sengaja dilepaskan untuk mengacaukan pertemuan Suu Kyi dengan para pendukungnya. Ia kemudian dipindahkan dari penjara kembali ke tahanan rumah pada akhir 2003 dan ditahan hingga saat ini.
Selama dalam tahanan Suu Kyi benar-benar diisolasi dari dunia luar, beberapa kesempatan untuk bebas sebenarnya di dapat Suu Kyi, misalnya saat suaminya sakit ia diberi ijin dan dibujuk pemerintah junta militer untuk menjenguk ke London namun Suu Kyi menolak karena ia tahu, sepulang dari London pemerintah tidak akan memberikan ijin masuk kembali ke Burma. Karenanya ia memilih tetap ditahanan dan meneruskan perjuangannya membebaskan rakyat Burma bahkan saat suaminya meninggal karena kanker prostat di London tanggal 27 Maret 1999 pun Suu Kyi tidak dapat menghadiri pemakamannya. Ia harus merelakan kepentingan-kepentingan dan emosi pribadinya dikorbankan demi kepentingan besar seluruh rakyat Burma. Sebelumnya Michael Aris sempat membuat petisi agar ia diijinkan menjenguk Suu Kyi untuk terakhir kalinya namun ditolak oleh penguasa Burma, terakhir kali pertemuan Suu Kyi dan keluarganya adalah pada akhir tahun 1995. Aung San Suu Kyi hingga hari ini terus berjuang dari balik tahanan dan terus menyerukan kepada dunia untuk membantu perjuangan demi pembebasan di Burma, dengan mengatakan “Please use your liberty to promote ours”
sumber : http://hikmahbudhi.or.id/?p=33
gambar : http://depesimaginarium.blogspot.com/2010/12/ra-kartini-aung-san-suu-kyi-dhanny.html
0 komentar:
Posting Komentar