Studi Hukum Nasional dan Internasional


 
Sebagai sebuah disiplin ilmu, hukum internasional tentu memiliki batasan-batasan, ruang lingkup pembahasan, serta hal-hal ynag membedakannya dengan disiplin ilmu yang lain. Mochtar Kusumaatmadja (1999) mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain (Kusumaatmadja, 1999:2). Sedikit berbeda, Profesor Charles Cheny Hyde dalam J.G. Starke menyatakan bahwa hukum internasional merupakan sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan tentang perilaku yang harus ditaati oleh negara-negara dan dalam hubungan antaranya, serta mencakup pula organisasi internasional dan peraturan hukum yang berkaitan dengan individu atau subyek non-negara selama hak dan kewajibannya bersangkutan dengan dunia internasional (Starke, 2004:3). 
 
Dalam sejarahnya, hukum internasional sudah ada sejak jaman negara-kota Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Terdapat dua jenis hukum yang berlaku kala itu, yakni Ius Ceville yang berlaku pada masyarakat Romawi, dan Ius Gentium yang berlaku pada mereka yang selain berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya Ius Gentium ini berganti nama menjadi Ius Inter Gentium dan di adopsi oleh negara-negara di sekitarnya, dengan nama Volkenrecht (Jerman), Law of Nations (Inggris), dan Droit de Gens (Perancis) (Kusumaatmadja, 1999:4). Hukum internasional semakin pesat berkembang utamanya setelah Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakui kedaulatan negara sebagai subjek hukum internasional. Pemikiran hukum internasional modern juga dipengaruhi oleh pemikiran para kaum naturalis dan positivis. Kaum naturalis beranggapan bahwa sistem hukum yang ada mengikuti hukum alam dan bersumber pada ajaran Tuhan. Tokoh kaum naturalis antara lain Grotius, Francisco de Vittoria, Hugo de Groot, dll. Sementara itu kaum positivis beranggapan bahwa hukum dan prinsip sehari-hari dibuat oleh kemauan dan kepentingan manusia sendiri. Tokohnya antara lain Jean Jacques Rousseau, Emerich de Vattel, Cornelius van Bynkershoek, dll (Mauna, 2003:6). 
 
Di abad ke-19 hukum internasional dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Diadakannya Kongres Wina 1815 yang bertujuan untuk membuat kesepakatan atas prinsip dan hukum internasional melalui perjanjian dan pakta. Berakhirnya Perang Dunia II di pertengahan abad 20 juga ditandai oleh lahirnya banyak negara baru. Dengan demikian semakin banyak perjanjian dan pakta yang dibuat antarnegara baik secara bilateral, regional, mapun multilateral. Hal ini menandakan perkembangan hukum internasional pasca Perang Dunia II cukup pesat. 
 
Mengenai ruang lingkup, hukum internasional mencakup tiga disiplin hukum, yakni hukum internasional publik (public), yang meliputi aturan, hukum adat istiadat yang mengatur dan memonitor pelaksanaan dan transaksi antarnegara dan atau antar warga negara; hukum internasional perdata (private), yang menangani sengketa antara pribadi warga negara dari negara yang berbeda; dan hukum supranasional, yang berwenang untuk membatasi hak-hak negara secara kolektif dalam suatu hal. 
 
Secara umum hukum internasional tentu berbeda dengan hukum nasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain teori monisme, dualisme, dan konvergensi. Teori monisme beranggapan bahwa semua hukum sebagai sebuah kesatuan tunggal yang mengikat baik negara, individu, maupun entitas hukum internasional lainnya. Dengan kata lain hukum merupakan sebuah aturan universal yang mengikat seluruh individu baik sebagai hukum nasional mauoun hukum internasional. Hans Kelsen dalam Starke (2004) berpendapat bahwa kaidah hukum baik internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan satu sama lain, meskipun masih dalam tatanan abstrak. Oleh karena itu paham ini menuntut tingkat preferensi antara kedua sistem tersebut (Starke, 2004:97). Sementara itu teori dualisme merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran positivisme klasik yang melandaskan hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai entitas hukum internasional. Teori konvergensi. 
 
Contoh kasus mengenai kaitan hukum internasional dan hukum nasional adalah misalnya adalah hukum migrasi nasional dan internasional. Indonesia merupakan anggota dari organisasi migrasi internasional IOM (International Organization for Migration) yang mengatur tentang migrasi internasional serta mencegah kemungkinan terjadinya perdagangan manusia di era globalisasi. sehingga meskipun di Indonesia sendiri masalah migrasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992, pemerintah Indonesia mau tidak mau juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh IOM yang juga beranggotakan negara-negara lainnya. 
 
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum internasional secara umum berasal dari hukum-hukum nasional negara-negara yang ada kemudian digabungkan menjadi sebuah hukum internasional dengan berbagai penyesuaian. Hukum internasional sendiri terdiri atas hukum publik, hukum perdata, dan hukum supranasional. Ia sudah mulai berkembang sejak jaman Yunani dan Romawi Kuno dan terus berkembang hingga saat ini. Mengenai perbandingannya dengan hukum nasional, ia bergantung pada konteks. Ada saat dimana ia menjadi lebih tinggi dari hukum nasional, misalnya hukum supranasional yang ditetapkan oleh PBB dan Mahkamah Internasional. Namun ada pula saat dimana otoritasnya sejajar atau bahkan lebih rendah dari hukum nasional.
Referensi:
Buku:
Kusamaatmadja, Mochtar. 1999. Pengantar Hukum Internasional. Cetakan ke-9. Bandung: Putra Abardin
Starke, J.G. 2004. Pengantar Hukum Internasional [terj]. Jakarta: Sinar Grafika.
Internet:
IOM. t.t. Overview. Tersedia pada http://www.iom.or.id/about.jsp?lang=eng[diakses pada 18 September 2012]
 

0 komentar:

Posting Komentar