Dalam dua abad terakhir Amerika Latin mengalami banyak perubahan dalam berbagai bidang, yang secara umum mengikuti pola-pola kehidupan barat. Mulai dari perubahan status dari sebuah negara kolonial menjadi negara yang merdeka, dari sistem pemerintahan yang anarkis menjadi demokratis, dari perekonomian agrikultur dan pertambangan menjadi industrial, dari pemukiman pedesaan menjadi perkotaan, dari budaya tradisional menjadi lebih beraneka ragam, serta dari masyarakat yang sederhana menjadi sebuah masyarakat yang lebih kompleks (Conniff, 2005:88). Perubahan tersebut kemudian memberikan dampak yang cukup berpengaruh pada masyarakatnya yang beragam, mengingat mereka sudah cukup terbiasa dengan segala struktur yang ada selama beberapa lama. Situasi domestik yang sudah ada untuk beberapa lama disertai dengan adanya tekanan dari luar, kondisi geografis, siklus ekonomi yang cukup luas, dan banyak faktor lain membuat mereka lambat laun berevolusi.
Revolusi sistem pemerintahan negara-negara di kawasan Amerika Latin diawali dari gerakan-gerakan yang dilakukan para generasi muda di jaman revolusioner masing-masing. Proses revolusi tersebut terjadi terus menerus, bahkan hingga sekarang, mengingat secara historis masyarakat di kawasan tersebut tidak dibekali kemampuan oleh bangsa penjajahnya untuk mengelola dan mengatur suatu negara dengan baik dan benar. Sehingga, dapat dikatakan adalah sebuah “dosa” dari para kaum penjajah yang mengakibatkan negara-negara di kawasan tersebut tidak memiliki sistem pemerintahan yang baik dan kuat (www.historyworld.net).
Kaum revolusioner pertama ini membuat gerakan revolusi dan berjuang melawan peraturan-peraturan Eropa yang diberlakukan disana, yang memberikan status kemiskinan akibat kolonialisme. Generasi ini berasal dari pemuda pejuang kemerdekaan, yang pada dasarnya telah mendapatkan bekal pendidikan yang baik, sehingga mereka cukup memahami apa yang perlu dikeluhkan dari otoritas kolonial serta monarki jarak jauh yang mengatur kehidupan mereka. Mereka adalah Antonio Nariño dari Colombia, Tiradentes dari Brasil, Fransisco Miranda dari Venezuela, dan Toussaint L'Ouverture, seorang pangeran Afrika yang menumbangkan Perancis di Haiti, yang merupakan beberapa revolusioner awal dari kaum pemuda yang rela berkorban demi mencapai kemerdekaan negerinya (Conniff, 2005:89).
Generasi selanjutnya yaitu generasi yang tumbuh dari para pahlawan kemerdekaan. Generasi ini berisi mereka-mereka yang sukses menjatuhkan rezim penjajahan di negeri mereka masing-masing. Pada dasarnya, orang-orang dari generasi ini lahir dan tumbuh pada masa Pencerahan, sehingga ide dan pemikiran Pencerahan mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka. Mereka pada umumnya berasal dari keluarga yang kaya raya, namun tidak memiliki ambisi untuk memperkaya diri lagi, melainkan hanya untuk memikirkan kemajuan rakyat. Contoh dari generasi ini adalah Simón Bolívar, yang dikenal sebagai bapak liberator Amerika Selatan, José de San Martín yang membantu menendang bangsa Spanyol dari Argentina, Chile, dan Peru, serta Bernardo O’Higgins, dari Chile (Conniff, 2005:89).
Perjuangan menuju kemerdekaan di Amerika Latin bertepatan dengan depresi ekonomi yang terjadi secara massif di Eropa (Conniff, 2005:90). Hal ini dikarenakan Perancis pada masa itu melakukan invasi ke seluruh Eropa, dan membuat Spanyol, sebagai bangsa penjajah dari beberapa wilayah Amerika Latin, mengalami kehancuran ekonomi (Gates, 2001). Kondisi tersebut membuat Spanyol kehilangan beberapa kontrol di kawasan Amerika Latin dan beberapa kawasan di Amerika Latin juga tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada Eropa. Oleh karena itu, setelah merdeka, banyak dari negara-negara “muda” di Amerika Latin yang mengalami kegagalan, terutama di bidang ekonomi. Periode ini memunjulkan generasi pemimpin ketiga yang disebut dengan Caudillos. Caudillos merupakan orang-orang yang menonjol dalam suatu komunitas, yang sering kali berasal dari para pemimpin pasukan, sehingga para caudillos memiliki keahlian dalam hal memimpin. Otoritas yang dimilikinya berasal dari kualitas kepribadian yang adil, intelejen, dan bersahaja. Pasukannya bahkan lebih mematuhinya daripada hukum yang berlaku. Munculnya caudillos sebagai ujung tombak dalam revolusi di negara-negara di kawasan Amerika Latin dapat memiliki dua arti. Pertama, munculnya caudillos sebagai indikasi bahwa konstelasi perpolitikan di sana chaos. Hal ini dikarenakan caudillos akan memberontak dan bahkan melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Kedua, kemunculan mereka dapat berarti sebagai sebuah solusi sementara, mengingat caudillos muncul lantaran ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada, sehingga dirasakan perlu bagi mereka untuk melakukan perlawanan terhadapnya (www.historyworld.net).
Kemunculan caudillos sering mendapat citra yang kurang baik dari dunia luar. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berhasil membawa negaranya menghindari peperangan, mengurangi kriminalitas, dan menyediakan aktivitas ekonomi yang layak bagi masyarakatnya (Conniff, 2005:90). Contoh dari para caudillos ini adalah José Antonio de Santa Anna dari Meksiko, Juan Manuel de Rosas dari Argentina, Diego Portales dari Chile, dan José Antonio Páez dari Venezuela.
Generasi pemimpin ketiga mucul di pertengahan abad ke 19. Generasi ini muncul karena terinspirasi gerakan liberalism yang ada di Eropa. Mereka membawa nilai-nilai baru di kawasan ini, seperti menghargai kebebasan dan menjamin kesetaraan pada masyarakat, tanpa memandang gender, dan menghilangkan keistimewaan institusi-institusi tertentu seperti militer, gereja, maupun pemilik tanah. Mereka juga mulai membuka diri pada investasi asing demi pembangunan dalam negeri. Pembangunan baik dalam infrastruktur maupun perekonomian membuat abad ke-19 disebut sebagai era ekonomi ekspor. Namun ironis, meskipun perekonomian nasional meningkat, masyarakat tetap menderita. Pemimpin-pemimpin muda tersebut antara lain Emperor Pedro II of Brazil, Benito Juarez of Mexico, and Bartolomé Mitre of Argentina. Generasi yang muncul setelahnya adalah Justo Rufino Barrios of Guatemala, Julio Roca of rgentina, Porfirio Diaz of Mexico, and Antonio Guzman Blanco of Venezuela.
Generasi ketiga pemimpin Amerika Latin ini memberikan kemajuan di bidang ekonomi, namun tidak pada tingkat kesejahteraan warganya. Hal ini dikarenakan segala bentuk perubahan yang terjadi, seperti pengembangan ekspor dan pembukaan investasi asing, justru malah membuat masyarakat semakin menderita (Conniff, 2005:90). Hanya mereka yang memiliki kapital saja yang mampu menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Sementara itu hal yang berlawanan justru terjadi di Karibia. Generasi diktator muncul. Kepemimpinan hanya dijalankan berdasarkan kerakusan dan pemuasan diri sendiri. Dilindungi oleh kekuatan militer yang korup, kedikatoran membuat pemerintah hanya cenderung berfokus bisnis tanpa memedulikan kesejahteraan rakyatnya (Conniff, 2005:91).
Yang menarik adalah bahwa terdapat beberapa pemimpin di Karibia, yang memimpin dengan gaya diktator, mendapatkan dukungan dari pihak Amerika Serikat (AS). Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan di kawasan tersebut, yang menimbulkan kemungkinan akan kembali masuknya pengaruh bangsa Eropa ke wilayah tersebut. Kemungkinan tersebut direspon oleh AS dengan menerapkan Monroe Doctrine, yang kemudian dilanjutkan dengan Good Neighbor Policy oleh presiden F.D. Roosevelt. Melalui Monroe Doctrine, AS ingin menjauhkan pengaruh imperialisme Eropa sekaligus menciptakan kawasan bisnis yang sehat bagi seluruh negara di benua Amerika. Kebijakan luar negeri ini menimbulkan AS menjalin hubungan baik dengan beberapa diktator di Karibia, seperti Anastasio Somoza García di Nikaragua, Fulgencio Batista y Zaldívar di Kuba, dan Rafael Trujillo di Republik Dominika.
Fenomena tren kepemimpinan berubah pasca Perang Dunia II, dimana pemikiran mengenai nilai-nilai kerakyatan mulai muncul di kawasan Amerika Latin. Para pemimpin pertengahan abad ke-20 ini dikenal sangat mengayomi masyarakatnya. Mereka dikenal dengan the classic populists, yang memposisikan diri sebagai manusia, protectors of the poor, defenders of the nation, and enemies of traditional corrupt politicians (Conniff, 2005:92). Tokoh paling tepat untuk menggambarkannya adalah Juan dan Evita Perón dari Argentina, Getúlio Vargas dari Brasil, Jose Maria Vaelasco Ibarra dari Ekuador, dan Rómulo Betancourt dari Venezuela. Para pemimpin baik ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi pekerja dan petani, hak pilih bagi wanita, kemakmuran bagi pemilik bisnis, dan lain sebagainya.
Kemunculan classic populist juga terjadi di kawasan Karibia. Diktator yang memimpin di beberapa negara di kawasan tersebut mendapat perlawanan yang serius dari beberapa tokoh, seperti José Daniel Ortega Saavedra di Nikaragua, Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara di Kuba. Tokoh-tokoh tersebut berjuang mengatasnamakan rakyat, yang pada dasarnya sudah merasa muak akan pemerintahan yang diktator yang ada di negara masing-masing. Fidel Castro sukses menggulingkan rezim Batista dan menjadi presiden Kuba di tahun 1965 melalui perang, sedangkan Daniel Ortega baru berhasil menjadi presiden Nikaragua di tahun 2006. Hal ini dikarenakan Daniel Ortega kalah dalam pemilu yang diadakan di Nikaragua setelah rezim Anastasio Somoza Debayle, anak dari Anastasio Somoza García, digulingkan.
Keberhasilan revolusi di Kuba membuat pihak AS murka. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, Batista merupakan orang yang pro terhadap kepentingan AS. Kedua, Castro melakukan nasionalisasi terhadap beberapa korporasi atau perusahaan AS di sana. Dan ketiga Castro berideologi Marxisme, yang bertolakbelakang dengan ideologi Liberalisme AS (Coltman, 2003). Alasan-alasan inilah yang dapat dijadikan sebagai jawaban kenapa AS menerapkan “hukuman” berupa embargo ekonomi dan isolasi diplomasi terhadap Kuba.
Tahun 1990-an, muncul generasi baru dalam kepemimpinan di kawasan Amerika Latin, yang disebut generasi neo-populist. Perbedaan yang mendasar antara generasi ini dan generasi sebelumnya adalah neo-populistlebih mengarah pada neo-liberalisme, yang mengutamakan privatisasi ekonomi, kebijakan penurunan tarif, dan kebijakan pro bisnis lainnya, sementara classic populist lebih condong pada ideologi kiri. Tokoh pemimpin dari generasi ini adalah Fernando Collor de Melo di Brasil, Alberto Fujimori di Peru, dan Carlos Menem di Argentina.
Referensi:
Coltman, Leycester. 2003. The Real Fidel Castro. New Haven and London : Yale University Press.
Conniff, Michael. 2005. Latin America Since Independence an Overview, in Black, Jan Knippers. 2005. Latin America: Its problem and Its Promise. pp 88-101.
Gates, David. 2001. The Spanish Ulcer: A History of the Peninsular War. Da Capo Press
http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?historyid=aa87, diakses pada 3 Maret 2012.
http://indira-a--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-48241-MBP%20Amerika%20Latin-Dinamika%20Politik%20di%20Amerika%20Latin.html
0 komentar:
Posting Komentar