Pengertian Militer, Militerisasi dan Militerisme
Mengamati sejarah perkembangan sistem politik di negara-negara berkembang sangat jelas memperlihatkan adanya kecenderungan pergantian kekuasaan dengan kekerasan yang pada akhirnya bermuara pada munculnya rezim otoritarian. Hal ini menjadi fenomena yang cukup jelas dan pasti terjadi dilakukan oleh mereka yang berlatar militer atau elit politik militer untuk duduk di kursi kekuasaan. Hal ini disebabkan karena sifat karakter militer itu sendiri dan juga budaya yang terbentuk dalam tubuh militer. Jika kita lihat pengertian militer itu, yang merupakan sebuah organisasi dalam suatu negara yang menjadi alat bagi pemetrintahan untuk menjaga ketahanan sebuah negara dari serangan asing. Mereka adalah masyarakat yang istimewa dari segi fasilitas dan perlengkapan serta pendidikan yang didapatkan, sehingga ini yang membedakan mereka dengan masyarakat sipil. Dari faktor inilah yang menjadikan mereka terpisah dari komunitas sipil (civil society). Namun kalau kita lihat saat ini tidak ada bedanya antara militer dan masyarakat sipil. Faktor yang menyebabkan antara keduanya adalah tingkat perekonomian ekonomi negara yang menghasilkan kesenjangan sosial, sehingga mudah dimiliterisasi. Terbentuknya organ-organ lokal merupakan contoh kongkrit praktek militerisasi di Indonesia. Perlu kita pahami bahwa militerisasi merupakan sebuah proses menuju militerisme. Yang mana militerisme adalah istilah modern yang menjadi terkenal dengan berkembangnya industrialisme dan kapitalisme. Kelompok marxian menyatakan bahwa militerisme merupakan watak organisasi sosial masyarakat kelas. Kapitalisme, disebut-sebut memproduksi bentuk militerisme yang aktif, sementara bagi teoritisi liberian yang mengkaji masyarakat industri, militerisme menunjuk pada pengaruh yang luas dari asas-asas dan ide-ide militer dalam masyarakat pra-industri yang menunjukkan
pengaruh yang semakin nyata dalam masyarakat industri. Menurut Andre Rose, yang membedakan antara militerisasi dan militerisme adalah militerisasi merupakan proses yang menuju militerisme, sehingga antar keduanya saling berkaitan dengan erat dan saling memperkuat satu sama lain, dan menurut Alfred Vagst, titik temu antara militerisasi dan militerisme terletak pada pemujaan terhadap peperangan dan persiapan menuju perang. Artinya, aktivitas sosial dalam masyarakat mengarah atau dirancang untuk perang.
Militer : Antara Profesionalisme dan Pretoritarianisme
Gencarnya tuntutan masyarakat sipil yang ditujukan kepada Tentara (baca: saat ini TNI) agar menjadi Militer-Profesional, tidaklah dapat diingkari sebagai sebuah tuntutan Modernitas. Masyarakat yang berada dalam arus Demokratisasi, seperti Indonesia, telah memanfaatkan dengan baik momentum Reformasi 1998 dengan mengikis segala bentuk peran Militer di masa lalu yang merugikan perkembangan Demokrasi. Demokrasi di sepanjang perjalanan rezim otoritarian Orde Baru, nyaris semu tak bermakna, salah satu penyebabnya adalah Hegemoni Pretorianisme kekuasaan Militer. Amos Perlmutter, dalam Military & Politic, memberikan ulasan empirik yang menggambarkan terjadinya Pretorianisme adalah kelanjutan terbentuknya negara-negara pasca Revolusi di dunia ketiga, yang tengah mencari format struktur dengan fondasi kekuatan Angkatan Bersenjata bagi kepentingan Stabilitas Nasional. Penguasa baru, ditahap awal berdirinya Negara, membutuhkan dukungan Militer untuk menciptakan Tertib sosial guna menanggulangi berbagai pertikaian kekuasaan. Beberapa Negara di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika latin adalah kawasan yang secara relatif didominasi oleh pengaruh Kekuasaan Militer. Pada masa itu, adalah suatu kelaziman alamiah bahwa unsur-unsur Militer berperan penting mewujudkan kemerdekaan dan turut serta dalam Pemerintahan. Hal itu berlangsung cukup lama dibawah dominasi Militer yang tidak mengenal Demokrasi, namun mampu melaksanakan pembangunan serta memajukan Negara. Kemajuan Negara di bidang pendidikan dan proses Transformasi sosial-Global, sedikit banyak mendorong masyarakat sadar pentingnya Demokrasi atas adanya pengekangan kebebasan. Situasi inilah yang menimbulkan “Gugatan“ terhadap rezim Militer, seperti banyak terjadi di Negara-negara tersebut, termasuk Indonesia. Munculah tuntutan Reformasi dan Demokratisasi yang sukses seperti di Brazil, Argentina, Korea Selatan, Afrika Selatan, Philipina, Indonesia, dan bahkan di Negara bekas Yogoslavia, walaupun masih banyak Negara yang hingga kini masih memperjuangkannya. Masa-masa seperti itu adalah kehendak sejarah yang tidak dapat dihindari.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa wajah militerisme, yang pertama adalah hierarki dan struktur komando teritorial. Struktur teritorial yang pada awalnya diciptakan untuk melangsungkan peperangan malah terjadi konflik horizontal dalam perebutan kekuasaan. Yang kedua, satuan para militer (dalam bahasa populer : preman). Para militer ini berakar dari usaha pengambilalihan kekuasaan
Sejarah Terbentuknya Militer di Indonesia
Militer bisa dikatakan sebagai produk penjajahan yang dilakukan oleh negara dunia pertama terhadap negara dunia ketiga. Kalau kita berbicara terbentuknya militer di Indonesia, bisa kita klasifikasikan menjadi 3 kelompok. Pertama, mereka yang didik sebagai opsir KNIL (koninklijt nederlandsch indische leger), yang jumlahnya sedikit sekitar 30 orang. Kelompok ini menjadi sangat berrpengaruh karena bekal pendidikan yang dimilikinya. Kedua para serdadu beks PETA (pembela tanah air), mereka adala kelompok yang terbesar jumlahnya. Ketiga, para pemuda-pemudi yang berasal dari laskar-laskar yang banyak berdiri pada masa revolusi. Dibandingkan dengan unsur bekas KNIL dan PETA, unsur yang terakhir ini tidak pernah menerima pendidikan atau latihan militer yang teratur dan disiplin.
Sebelum kedatangan belanda masyarakat indonesia mempunyai menengah dan relatif kuat. Bahkan para petani telah memiliki organisasi yang meski relatif moderat, tetapi memiliki semangat perlawanan yang besar terhadap kekuasaan aristokrat kaum jawa yang menindas.
Tetapi, setelah belanda mengokohkan dominasi kekuasaannya dan sanggup membangun struktur kekuasaan yang solid, kelas menengah yang pernah ada itu lenyap sama sekali. Mengutip Furnivall, kahin mengatakan orang jawa kemudian menjadi penggarap, dan nilai kehidupannya menjadi kerdil dan para petani pun makin terpuruk dalam kemiskinannya. Ketika nusantara dijajah oleh kolonial belanda muncul banyak perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di tiap daerah, tapi perlawanan rakyat ketika itu sangat mudah dipatahkan oleh penjajah belanda, karena perlawanannya masih bersifat sporadis dan kedaerahan. Namun, ketika perang terjadi antara Pasukan yang dipimpin oleh pangeran diponegoro menjadikan Kolonial merasa kewalahan bahkan perlawanan rakyat tidak pernah surut dan semakin terorganisir dan terpimpin.
KNIL, Tentara Bayaran Penjajah
Para perwira KNIL pada umumnya adalah lulusan akademi militer Breda atau lebih dikenal dengan nama KMA Breda, yang ternama dibelanda. Prajurit ini dalam merekrut personilnya terpusat di belanda yang terdiri dari tentara bayaran yang sering jadi sasaran ejeakan, sebagi comberan eropa. (the sink-hole of Europe). Tak heran jika orang-orang eropa pengangguran ini untuk mempertahankan hidup memilih menjadi tentara. Selain itu colonial belanda juga melakukan rekrutmen dari orang pribumi sebagi serdadu KNIL meskipun kebanyakn prajurit tersebut dibatasi dan bersifat dari etnis tertentu. Hal ini ada alasan dan tujuan tertentu. Pertama, sebagian dari politik pecah-belah dan kuasi. Ini bisa dibuktikan ketika di masa-masa revolusi kemerdekaan, sentiment anti orang ambon muncul kepermukaan karena dianggap pro belanda. Kedua, rekrutmen terbatas itu juga dimaksudkan untuk menjauhkan perasaan nasionalisme mereka sehingga manjauhkannya dari kepentingan dan aspirasi rakyat keseluruhan untuk bebas dari tindasan colonial. Demikianlah, telaah singkat mengenai sejarah terbentuknya KNIL dan motivasi dibalik pembentukannya. Dari tinjauan historis ini, kita dapat memahami mengapa kemudian amir syarifudin dan sjahrir menuding para perwira eks- KNIL sebagai tentara bayaran yang rela digunakan belanda untuk menindas bangsanya sendiri, menindas nasionalisme yang menuntut berdirinya suatu Negara Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat. Dengan pendidikan kemiliteran yang dikuasainya, para eks-KNIL ini berhasil menempati posisi penting dan strategis dalam struktur markas besar TNI.
PETA (pembela tanah air), Tentara Bermental Fasis
Makin hari, penguasa colonial tak mampu membungkam aspirasi kemerdekaan rakyat pribumi. Meski pasang surut, perlawanan rakyat Indonesia terhadap colonial belanda tidak pernah berhenti. Program perjuangan, strategi-taktik, dan organisasi perlawanan, semakin baik. Kemunculan Budi Oetomo, menandai fase baru perjuangan rakyat hindia. Tak lama kemudian, partai politik tampil ke panggung sejarah, sebagai organisasi politik modern. Organisasi baru ini dalam waktu singkat telah menjadi motor perjuangan yang baru. Kehadirannya menggantikan metode perjuangan lama yang bersifat sporadis, local dan tidak memiliki program perjuangan yang jelas. Namun pemerintahan belanda sampai sejauh ini terhadap aspirasi kemerdekaan tidak bergeser sedikitpun.
Menyadari bahwa kemerdekaan tak bisa diminta, pada 1926 PKI, melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan colonial. Tapi pemberontakan ini berhasil dipadamkan dalam waktu singkat. Puluhan ribu aktivis PKI ditangkap, para pemimpinnya dibunuh, ditangkap dan sebagian dibuang ke neraka Boven Digul, papua. Pada masa PD II tentara Nazi jerman menyerbu belanda dan memaksa ratu belanda dan aparat pemerintahannya mengungsi ke libanon, inggris. Hal ini dimanfaatkan oleh tentara jepang untuk masuk pada wilayah ambon pada tanggal 31 Januari, dan mendarat di jawa pada tanggal 1 Maret 1942. Ini juga menandakan berakhirnya kekuasaan colonial belanda selama 3,5 abad dan posisinya digantikan oleh sebuah kekuasaan asing lain, kekuatan fasisme jepang.
Pada 09 Maret 1943 jepang membentuk organisasi Poetra (Poesat Tenaga Rakyat). Organisasi ini mencakup semua perkmpulan politik dan non-politik terdahulu yang berkedudukan di jawa dan Madura. Kenyataanya, poeetra tidak hanya memperkuat perang jepang tetapi juga membantu pembentukan organisasi, terutama dikalangan pemuda, dimana jepang menanamkan mentalitas otoriter yang secara positif menghargai kekerasan dan semangat anti barat sepenuh hati di kalangan anggotanya.
Menurut Roeslan Abdul Gani, ada 3 kekuatan yang saling mempengaruhi hingga terbentuknya tentara sukarela PETA (Pembela Tanah Air). Pertama, khususnya ofensi Amerika di Front pasifik. Sejak Agustus 1943, inisiatif pertempuran telah di tangan sekutu. Di pasifik utara tentara jepang berhasil diusir dari kepulauan Alexian. Jelasnya di seluruh front pasifik, jepang bertukar posisi dengan sekutu dari posisi ofensif menjadi defensive. Kedua, sebagai akibatnya jepang di tanah air berusaha keras untuk lebih banyak memperoleh tambahan tenaga untuk keperluan angkatan perangnya. Ketiga, adanya semangat nasionalisme dan patriotisme yang menyala-nyala yang menyebabkan berbondong-bondongnya para pemuda untuk mendaftarkan diri ke dalam tentara sukarela bentukan jepang.
Laskar Rakyat (People Army)
Keberadaan laskar rakyat dalam perjuangan perlawanan terhadap pemerintah kolonial hindia belanda juga mempunyai pengaruh besar dalam proses menuju kemerdekaan. Laskar rakyat mempunyai metode perlawanan yang cukup berbeda dan berani, dengan gerakan tanahnya lascar rakyat mampu menggugah gairah perlawanan para pemuda nusantara dan semangat perjuangan yang menggelora yang tidak bisa ditampung oleh oleh organisasi bersenjata teratur, disiplin dan hierarkis.
Istilah laskar dapat diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan soldier, militia, atau army. Namun pada revolusi fisik, istilah tersebut mempunyai makna satuan bersenjata di luar tentara regular, yang pada umumnya berkonotasi pada suatu orientasi politik tertentu. Orientasi gerakan perlawanan laskar rakyat juga dipengaruhi oleh pengaruh fasisme yang saat itu muncul sebagai kekuatan yang mengancam eksistensi Negara-negara eropa yang kemudian berpengaruh terhadap Negara jajahannya. Gerindo (gerakan rakyat Indonesia) yang merupakan sebuah partai baru, didirikan pada 24 mei 1937, mengambil sikap anti fasisme melalui perdebatan sengit di internal partai, berbeda dengan Parindra (Partai Indonesia Raya) yang lebih memilih kerjasama taktis dengan kekuatan fasis untuk menyingkirkan kekuatan kolonial hindia belanda. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejarah lascar rakyat sejak semula adalah sejarah yang sarat aspirasi politik “menuju Indonesia merdeka”.
Mengenai gerakan bawah tanah pada masa pendudukan jepang, terdapat empat kekuatan gerakan bawah tanah. Yang pertama dan terbesar adalah gerakan bawah tanah pimpinan Amir Syarifuddin, seorang bekas ketua Gerindo yang paling konsisten dan teguh dalam melawan fasisme dan merupakan kekuatan yang paling ditakuti jepang. Kedua, gerakan yang dipimpin sutan sjahrir, gerakan berkembang di beberapa kota, Jakarta, Cirebon, Garut, semarang, dan Surabaya. Ketiga, gerakan persatuan mahasiswa, di Jakarta terutama di fakultas kedokteran. Yang terakhir gerakan bawah tanah yang diketuai Sukarni, yang bermarkas di Asrama Angkatan Baru Indonesia, diantara pemimpinnya terdapat Adam Malik, Pandu Wiguna, Chairul Saleh dan Maruto Nitimihardjo.
Langkah strategis yang dilakukan laskar rakyat yang menurut Tan Malaka adalah kekuatan revolusi yang sebenarnya itu, dengan melakukan infiltrasi di dalam organisasi bentukan jepang (PETA) dengan tujuan mengambil control dan mengarahkannya pada sikap anti jepang dan pro sekutu dan menyiapkan mereka untuk melawan jepang jika invasi sekutu datang, akhirnya strategi tersebut berhasil.
Praktik Militerisme di Indonesia
Berangkat dari sejarah di atas jelas bahwa proses terbentuknya militer yang saat ini kita kenal dengan nama TNI mempunyai perbedaan pandangan dan orientasi sehingga landasan historis ini kemudian dijadikan sebagai legitimasi dalam mengambil langkah dan masa depan TNI. Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitism, irasionalisme, dan korporatisme. Ciri dari pemerintahan yang neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militant. Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa demokrasi terpimpin, dan diaplikasikan nyaris sempurna pada masa orde baru.
Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada 1982 melalui UU No.20 Th. 1982, namun prakteknya peran sosial politik (sospol) TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama sejak Soeharto berkuasa, peran sospol TNI semakin besar, yang biasa disebut “dwifungsi ABRI/TNI”. Peran TNI yang semakin masuk dalam wilayah masyarakat memang dianggap sesuatu yang sah-sah saja ketika melihat sejarah perjuangan kemerdekaan, tentara mempunyai peran yang sangat vital. Hal tersebut kemudian menguatkan status quo militer untuk masuk dalam area sipil.
Alasan-alasan yang menguatkan dwifungsi ABRI yang pertama adalah argumentasi historis bahwa TNI lahir dari rakyat, besar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat. Menurut TNI, mereka dibentuk tidak dalam kontrol pemerintah, TNI terbentuk dari para pemuda yang berjuang untuk rakyat dan melakukan koordinasi sesuai dengan tujuan bersama, yaitu menyingkirkan penjajah. Kedua, yang dikemukakan untuk membenarkan dwifungsi ABRI adalah mengenai kegagalan pemerintahan sipil dalam mengemudikan roda pemerintahan Negara. Memang ada yang berteori, salah satu sebab mengapa TNI masuk dalam wilayah sospol adalah politisi sipil tidak becus dalam mengurusi Negara.
Ketiga, mengenai paham Negara integralistik atau Negara kekeluargaan yang menjelaskan bahwa setiap Negara adalah miniatur dari sebuah keluarga inti dimana setiap anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Maka, mustahil memisahkan kedudukan ayah-ibu dan anak. Sehingga antara militer dan militer hidup berdampingan tanpa perbedaan. Jika ada persinggungan antar keduanya merupakan hal yang sangat wajar.
Sebenarnya ada satu alasan lagi yang menyebabkan TNI tetap ingin bercokol di arena politik yakni alasan ekonomi. Menurut Coen Husain Pontoh inilah alasan utama dwifungsi ABRI dalam politik, penguasan ekonomi. Terutama motivasi tersebut dapat membantu dalam pendanaan operasi militer. Jadi dari alasan tersebut bisa dikatakan logis ketika TNI dijadikan sebagai dari rakyat, namun permasalahannya tidak terlepas militer sendiri bahwa mereka itu sangat anti demokrasi sehingga dalam bergaul dengan masyarakat sipil sifatnya sangat kaku. Dalam arena politik pula sangat melenceng dalam konsep demokrasi yang mengedepankan kepentingan umum dan mengedepankan hak asasi manusia, dan itu tidak ada dalam pendidikan militer. Sehingga sangat perlu organisasi militer kembali ke baraknya, dan menjalankan tugas sebagai alat pertahanan Negara.
0 komentar:
Posting Komentar