Definisi
Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara teologi berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang men-sejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia.Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:
“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.
(Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.
Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.
Sejarah Islam adalah sejarah penindasan
Islam pada awal perkembanganya banyak dipeluk oleh orang-orang yang bukan merupakan golongan elit di masyarakat. Muhammad sebagai pembawa risalah juga berasal dari keluarga quraisy yang walupun cukup terpandang, tapi tidak tergolong sebagai keluarga yang kaya dan tidak memiliki status social yang tingi di mata masyarakat.
Pada saat itu islam menjadi tantangan yang luar biasa bagi para saudagar kaya Mekkah, sehingga kemudian mereka menolak ajarannya. Bukan semata-mata karena mereka menolak risalah tauhid, tetapi lebih kepada ketakutan mereka terhadap islam yang akan membawa perubahan social, khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politis maupun ekonomi.
Ditengah situasi yang tidak menentu, karena kuatnya dominasi para saudagar arab waktu itu, dan dibumbui dengan adanya isu-isu seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan yang baru lahir, penindasan terhadap orang-orang miskin. Dari latar belakang keadaan kehidupan seperti itu abi Muhammad muncul sebagai pembawa kebebasan. Dan tidak ada alasan lagi bagi para pengikut Muhammad untuk tidak megikuti ajarannya sebagai pembebas orang yang tertindas.
Pada masa kenabian Muhammad islam memberikan kritik yang mendasar pada system dalam ekonomi yang dijalankan oleh kaum Quraisy mekah yang timpang dan kapitalistik. Meminjam bahasa Marx, sebenarnya Islam telah menyediakan basis hadirnya sebuah revolusi, yaitu unsur pasif dasar material. Islam menemukan senjatanya pada kaum yang tertindas, dalam istilah islam dikenal dengan kaum mustad’afin sedangkan kaum tertindas menemukan inspirasinya dalam berbagai ayat Al-quran dan perkataan nabi Muhammad dalam sunnah-Nya.
Gagasan-gagasan revolusioner
Muhammad hadir ditengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawakannya, lebih dari itu rasul memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan social. Dalam iklim masyarakat yang kapitalistik-eksploitatif, Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tiga belas abad sebelum Marx, Muhammad bersama islam dan para sahabatnya sejak awal telah menghendaki aspek-aspek kepemilikan bersamayang dinilai menguasai hajat hidup orang banyak, tidak dibenarkan individu-individu untuk mnguasai secara sepihak.
Beberapa tokoh lain seperti Imam Khomeini yang memimpin revolusi Iran, akibat tekanan dari rezim dictatorial Syah Pahlevi penguasa Iran yang giat melakukan westernisasi. Imam Khomeini menjadi peloppor dan penyemangat rakyat Iran yang selama betahun-tahu hidup dalam penindasan kekuasaan Syah Pahlevi. Dalam pemahaman Imam Khomeini agama islam merupakan instrument untuk menggerakkan perlawanan, bukan hanya sekedar candu.
Kritikan terhadap umat Islam sekarang
Ajaran tentang islam sekarang yang sebenarnya merupakan ajaran revolusioner, yang seharusnya berani melawan penindasan yang terjadi dan membela kaum tertindas. Justru yang terjadi sekarang umat islam banyak yang hanya mementingkan hubungan vertikal semata, yang artinya hubungan kita dengan Tuhan semata, sementara itu hubungan horizontal, yang berisi hubungan kita dengan masyarakat cenderung disepelekan, dan dipinggirkan. Apalagi realitas yang terjadi sekarang menunjukkan adanya penindasan di hampir semua sektor kehidupan.
Kritikan tersebut menjadi sangat penting dengan banyak munculnya kiai-kiai yang terkenal dengan kiai penghasil air mata. Artinya kiai hanya berfungsi menggugah dan menekankan hubungan vertikal. Tanpa adanya ajakan kepada perluasan hubungan horizontal.
Selain itu fenomena munculnya gerakan-gerakan fundamentalis Islam, seperti FPI (Front Pembela Islam) adalah bukti nyata keacuhan umat islam terhadap penindasan. Agama dijadikan alasan untuk membenarkan anarkhisme, dan penindasan. Fungsi agama sebagai alat perjuangan kaum tertindas-pun dilupakan. Sebuah pertanyaan besarpun mengemuka, apa sebenarnya yang terjadi dengan agama kita?.
0 komentar:
Posting Komentar