Jurnalistik Islami adalah Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis
muslim, yakni wartawan dan penulis yang beragam Islam berkewajiban menjadikan
Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik yang bekerja pada media massa
umum maupun media massa Islam (Muis, 2001; Amir,1999). Di sisi lain dakwah
merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap muslim.
Romli
(2003) mendefinisikan Jurnalisme dakwah adalah proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal
yang sarat dengan muatan nilai-nilai Islam. Suf Kasman (2004)
memberi definisi yang lebih lengkap untuk Jurnalisme Dakwah, yaitu proses meliput, mengolah, dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan
mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan norma-norma yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendapat ini sejalan dengan
Malik (1984) yang mendefinisikan Jurnalisme Dakwah sebagai proses meliput, mengolah, dan
menyebarkan berbagai peristiwa yang menyangkut umat Islam dan ajaran Islam
kepada khalayak, crusade journalism yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni
nilai-nilai Islam.
Definisi yang lebih luas demukakan
oleh Emha Ainun Najib (dalam Kasman, 2004: 20). Menurutnya, Jurnalistik Islami
adalah teknologi dan
sosialisasi informasi dalam kegitan penerbitan tulisan yang mengabdikan diri
kepada nilai agama Islam.
Dalam
konteks pendidikan jurnalisme, wartawan muslim dilihat sebagai sosok juru
dakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah bil qolam. Ia menjadi khalifah (wakil)
Allah di dunia media massa dengan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai, norma,
etika, dan syariat Islam. Ia memiliki tanggung jawab profetik Islam:
mengupayakan agar ajaran Islam tetap dan selalu fungsional serta aktual dalam
kehidupan. Jurnalis muslim tidak boleh tinggal diam beritu saja jika melihat
ada kemunkaran dalam dunia yang digelutinya, misalnya menyaksikan pencitraan
yang negatif tentang Islam atau ada rekayasa yang memojokkan Islam dan umatnya
di media massa, maka jurnalis muslim harus membela dan meluruskan sesuai dengan
fakta (Romli, 2003).
Sebagai
juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi, jurnalis muslim bagaikan
“penyambung lidah” pada nabi dan ulama. Karena itu ia pun dituntut memiliki
sifat-sifat kenabian, yaitu Shiddiq,
Amanah, Tabligh, dan
Fathonah. Penjelasan aplikasi sifat-sifat tersebut dalam ranah
kerja jurnalis dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel.1
No
|
Sifat Kenabian
|
Penjelasan
|
1
|
Shiddiq
|
Al-shidq mengacu kepada pengertian jujur
dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, shiddiq adalah
menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran
itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam
(Al-Qur’an dan As-Sunnah).
|
2
|
Amanah
|
Artinya terpercaya, dapat dipercaya,
karenanya tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi
fakta.
|
3
|
Tabligh
|
Artinya menyampaikan, yakni
menginformasikan kebenaran, bukan malah memutarbalikkan kebenaran
|
4
|
Fathonah
|
Artinya cerdas dan berwawasan luas.
Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk
membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad
SAW (prophetic
intelligence)
|
Sumber:
Romli (2003: 38-39)
Dalam skala yang lebih luas jurnalis
muslim bukan saja berarti para wartawan yang beragama Islam dan commited dengan ajaran
agamanya, melainkan juga cendekiawan muslim, ulama, mubalig yang cakap bekerja
di media massa dan memiliki setidaknya lima peranan (Romli, 2003: 39-41):
Pertama, Sebagai pendidik (muaddib),
yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih
menguasai ajaran agama Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Lewat media
massa, ia berperan mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya dan
menajuhi larangan-Nya. Ia memikul tugas untuk mencegah umat Islam melenceng
dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa
nonIslami yang antiIslam.
Kedua,
Sebagai pelurus
informasi (musaddid).
Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para wartawan muslim. (1)
informasi tentang ajaran dan umat Islam, (2) informasi tentang karya-karya atau
prestasi umat Islam, (3) jurnalis muslim hendaknya mampu menggali (dengan investigative reporting)
tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran musaddid terasa relevan
dan penting mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers
barat biasanya bias
(menyimpang dan berat sebelah), distorsif, manipulatif, penuh rekayasa untuk
memojokkan Islam yang notabene
tidak disukainya. Di sini, jurnalis muslim dituntut berusaha mengikis fobi
Islam (Islamophobia)
dari propaganda pers barat yang anti-Islam.
Ketiga, Sebagai pembaharu (mujaddid),
yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam
(reformisme Islam). Wartawan muslim hendaknya menjadi juru bicara para
pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah,
memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul,
dan isme-isme yang tidak sesuai ajaran Islam), dan menerapkannya dalam segala
aspek kehidupan umat.
Keempat, Sebagai pemersatu (muwahid), yaitu menjadi
jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik
yang berupa impartiality
(tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap
informasi) harus ditegakkan. Wartawan muslim harus membuang jauh-jauh sikap
sektarian (berpihak sebelah pada golongan tertentu).
Kelima, Sebagai pejuang (mujahid),
yaitu pejuang-pejuang pembela Islam. Melalui media massa, wartawan muslim
berusaha keras mendorong penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar
Islam, mempromosikan citra lslam sebagai rahmatan
lilalamin.
Akhlak
dan Kode Etik Jurnalis Muslim
Dalam ranah praktis, jurnalis
juga dituntut memiliki kemampuan teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam
Al-Qur’an. Hal ini menurut Romli (2003) dan Amir (1999) tercermin dalam
berbagai bentuk ahlakul karimah, antara lain: (1) Menyampaikan informasi dengan
benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30); (2)
Bijaksana, penuh nasihat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik
pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman objek pembaca harus dipahami
sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS. An-Nahl: 125);
(3). Meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta
sebagai bahan baku berita yang akan ditulis, jurnalis muslim hendaknya mengecek
dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh
agar tidak terjadi kidzb,
ghibah, fitnah dan
namimah (QS.
Al-Hujarat: 6); (4). Tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan
penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11); dan (5)
Menghindari prasangka/su’udzon.
Dalam pengertian hukum, jurnalis hendaknya memegang teguh “asas prduga tak
bersalah”.
Selain
poin-poin di atas masih, beberapa pedoman ahlak Qur’ani yang wajib diperhatikan
bagi seorang muslim yang berprofesi sebagai wartawan atau praktisi media adalah
sebagai berikut
Pertama, dalam menyampaikan informasi, waratawan muslim hendaknya
melandasi dengan iktikad atau niat yang tinggi untuk senantiasa melakukan
pengecekan kepada pihak-pihak yang bersangkutan sehingga tidak akan merugikan
siapapun.
Kedua, ketika menyampaikan karyanya,
wartawan muslim hendaknya menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam gaya
bahasa yang santun dan bijaksana. Dengan demikian apa yang disampaikannya akan
dapat dimengerti, dirasakan, dan menjadi hikmat bagi khalayak.
Ketiga, dalam melaksanakan tugas jurnalistik, hendaknya wartawan
muslim melaksanakannya secara profesional dalam ikatan kerja yang produktif,
sehingga karyanya akan memiliki hasil yang optimal dan adil untuk semua pihak
sehingga ia akan dipandang sebagai aset utama perusahaan media.
Keempat, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, wartawan muslim
hendaknya menghindarkan sejauh mungkin prasangka maupun pemikiran negatif sebelum
menemukan kenyataan objektif berdasarkan pertimbangan yang adil dan berimbang
dan diputuskan oleh pihak yang berwenang.
Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, wartawan muslim hendaknya
senantiasa dilandasi etika Islam dan gemar melakukan aktivitas sosial
yang bermanfaat bagi umat. Wartawan muslim sudah seharusnya selalu memperkaya
wawasan keislamannya untuk meningkatkan amal ibadah sehari-hari.
Keenam, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya
menjunjung tinggi asas kejujuran, kedisplinan dan selalu menghindarkan diri
dari hal-hal yang akan merusak profesionalisme dan nama baik perusahaannya.
Komitmen yang tinggi seyogyanya diberikan pada profesionalisme dan bukan ikatan
primordialisme sempit.
Ketujuh, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya
senantiasa mempererat persaudaraan sesama profesi berdasarkan prinsip ukhuwah
Islamiyah tanpa harus meninggalkan asas kompetisi sehat yang menajdi tututan
perusahaan media massa modern.
Kedelapan, dalam melaksanakan tugasnya, waratwan muslim hendaknya
menyadari betul bahwa akibat dari karyanya akan memiliki pengaruh yang luas
terhadap khalayak. Karena itu, hendaknya semua kegiatan jurnalistiknya
ditujukan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dalam rangka pendidikan dan
penerangan umat.
Kesembilan, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya
menyadari dengan penuh kesadaran memahami banwa profesinya merupakan amanat
Allah, umat dan perusahaan media. Karena itu wartawan muslim hendaknya selalau
siap mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah, umat dan perusahaannya.
Kesepuluh, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya
selalu berkata atau menulis dengan prinsip-prinsip berbahasa yang diajarkan
Al-Quran, yaitu qaulan
ma’rufan (pantas), qaulan
kariman (mulia), qaulan
masyura (mudah dicerna), qaulan
balighan (efektif/mengena), dan qaulan
layyinan (lemah lembut).
Problematika
Jurnalisme Dakwah
Jika ditelaah secara historis,
terdapat banyak persoalan yang menyebabkan pers Islam selalau tertinggal dengan
pers umum, salah satunya adalah “punah” nya pendidikan jurnalisme dakwah di
lingkungan kampus. Padahal Jika berkaca pada sejarah, pers Islam sebenarnya
pernah tumbuh pesat dan berkembang luas di tanah air. Kejayaan pers Islam
puncaknya justru terjadi di awal masa pergerakan kemerdekaan. Saat ini umat
Islam di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dihadapkan pada sebuah dilema yang
pelik berkaitan dengan kurangnya media massa yang memadai untuk memperjuangkan
dan menegakkan nilai-nilai keislaman. Konsekuensi dari kondisi ini tentu tidak
hanya kurang tersalurkannya aspirasi umat, tetapi umat Islam sebagaimana
dikatakan Kasman (2004: 5), hanya menjadi konsumen pasif bagi media massa
non-Islam lain yang kerap memberikan informasi yang tidak relevan dan
kontraproduktif bagi pemberdayaan umat.
Agar mampu bersaing dengan
pers umum yang sangat beriorientasi komersial (comercial oriented), wartawan Islam sudah
saatnya harus berani berhijrah menjawab berbagai tantangan. Di antaranya adalah
sebagai berikut: (1) Jurnalis Islam harus menunjukkan ahlak sebagai pribadi
muslim yang mendalamai dan menjalankan ajaran agama Islam secara kaffah; (2)
Jurnalis Islam harus kritis terhadap pengaruh Barat; (3) Jurnalis Islam harus
populis sehingga dapat “diterima” oleh umat Islam; (4) Jurnalis Islam harus
mampu mengembangkan khazanah intelektual Islam; (5) Jurnalis Islam harus mampu
mempersatukan kelompok-kelompok umat. Semua bekal ini dapat diberikan sejak
calon-calon jurnalis duduk di bangku kuliah.
Penutup
Jurnalistik Islami adalah
Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis dan pengelola media yang berpredikat
muslim berkewajiban menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi dalam
profesinya. Baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam.
Di sisi lain dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap muslim .
Jurnalisme Dakwah menjadi
mutlak dikenalkan sejak dini dalam dunia pendidikan komunikasi dan jurnalistik
mengingat mahasiswa Ilmu Komunikasi adalah calon-calon jurnalis dan praktisi
komunikasi di masa mendatang, sehingga jika nilai-nilai keislaman terpancar
dari ruh para jurnalis dan pengelola media, niscaya tidak akan bermunculan
kemunkaran berkedok aktivitas jurnalistik.
0 komentar:
Posting Komentar