Hukum Internasional


A. Pengertian Hukum Internasional 

Prof Dr. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya. 

Hukum internasional terbagi menjadi dua bagian, yaitu : 

- Hukum Perdata Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antara warga negara di suatu negara dengan warga negara dari negara lain (hukum antar bangsa) 
- Hukum Publik Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (Hukum Antarnegara) 

B. Asas-Asas Hukum Internasional 

- Asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional, adalah : 
- Asas Teritorial, Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang berada dalam wilayahnya. 
- Asas Kebangsaan, menurut asas ini setap warganegara dimanapun dia berada, tetap mendapat perlakuan hukum dari nearanya. asas ini memiliki kekuatan ekstrateritorial, artinya hukum negara tetap berlaku bagi seorang warganegara walaupun ia berada di negara lain. 
- Asas Kepentingan Umum, menurut asas ini negara dapat menyesuaikan diri dengan dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara. 

C. Subjek Hukum Internasional 

Subjek hukum Internasional terdiri dari : 

1. Negara 
2. Individu 
3. Tahta Suci / vatican 
4. Palang Merah Internasional 
5. Organisasi Internasional 

Sebagian Ahli mengatakan bahwa pemberontak pun termasuk bagian dari subjek hukum internasional. 

D. Sumber Hukum Internasional 

- Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 
- Sumber hukum materil, yaitu segala sesuatu yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. 
- Sumber hukum formal, yaitu sumber darimana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan -hukum internasional. 

Menurut pasal 38 Piagam mahkamah Internasional, sumber hukum formal terdiri dari : 

- Perjanjian Internasional, (traktat/Treaty) 
- Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum 
- Asas-asas umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab 
- Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum internasional yang telah memiliki kekuatan hukum tetap 
- Doktrin, yaitu pendapat para ahli hukum internasional. 

SEBAB-SEBAB SENGKETA INTERNASIONAL 

Secara garis besar sengketa internasional terjadi karena hal-hal berikut : 

1. Sengketa terjadi karena masalah Politik 

Hal ini terjadi karena adanya perang dingin antara blok barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan blok Timur (Komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dibawah pimpinan Uni Sovyet/ Rusia. kedua blok ini saling memeperluas pengaruh ideologi dan ekonominya di berbagai negara sehingga banyak negara yang kemudian enjadi korban. contoh kore yang terpecah menjadi dua, yaitu Korea Utara dengan paham komunis dan korea selatan dengan paham liberal 

2. Karena batas wilayah 

hal ini terjadi karena tidak adanya kejelasan batas wilayah suatu negara dengan negara lain sehingga masing-masing negara akan mengklaim wilayah perbatan tertentu. contoh : Tahun 1976 Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan pula sipadan dan ligitan dan diputuskan oleh MI pada tahun 2003 dimenangkan oleh malaysia, perbatasan kasmir yang diperebutkan oleh india dan pakistan. 

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 

Penyelesaian sengketa internasional dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : 

1. Dengan cara damai, terdiri dari : 
- Arbitrasi. arbitrase biasanya dilakukan dengan cara menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu (arbitrator) yag dipilih secarea bebas oleh berbagai pihak untuk memutuskannya tanpa terlalu terikat dengan prosedur hukum. 

- Penyelesaian Yudisia, adalah suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu peradilan yudicial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Contoh International Court of Justice, yang berkedudukan di Denhag Belanda. 

- Negosiasi (perundingan), jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi. 

- penyelidikan 

- Penyelesaian di bawah naungan PBB 

2. Dengan cara paksa atau kekerasan, terdisi dari : 

- perang dan tindakan bersenjata non perang 

- Retorsi, yaitu istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap negara lain karena diperlakukan secara tidak pantas. 

- Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisal), yaitu suatu metode yang dipakai oleh suatu negara untuk memperoleh ganti kerugian dari negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan pemalasan. 

- Blokade secara damai 

- intervensi 

PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAM 

Mahkamah Internasional (MI) merupakan salah satu badan perlengkapan PBB yang berkedudukan di Denhag (Belanda). MI memiliki 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara dengan masa jabatan 9 tahun. Selain memberikan pertimbangan hukum kepada Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB MI pun bertugas untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang diserahkan kepadanya. dalam mengadili suatu perara MI berpedoman pada Traktat-traktat dan kebiasaan -kebiasaan Internasional. 

Prosedur Penyelesaian Kasus HAM Internasional 

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh mahkamah internasional dapat dilakukan melalui prosedur berikut : 

Korban pelanggaran HAM dapat mengadukan kepada komisi tinggi HAM PBB atau melalui lembaga HAM internasional lainnya. 

pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan. 
dengan bukti-bukti hasil penyelidikan dan penyidikan proses dilanjutkan pada tahap peradilan, dan jika terbukti maka hakim MI akan menjatuhkan sanksi. 

Sebagian besar transaksi dan interaksi antara negara-negara dalam hubungan internasional bersifat rutin dan bebas konflik. Semakin banyak permasalahan yang muncul baik nasional, regional, ataupun global memerlukan perhatian dan penyelesaian dari banyak negara. Dalam banyak kasus, pemerintah beberapa negara seringkali berunding untuk membahas masalah serta memberikan solusi bagi permasalahan yang timbul antarnegara. 

Istilah perjanjian merujuk pada interaksi antarnegara dalam menyelesaikan berbagai masalah atau konflik kepentingan di berbagai bidang, seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan (militer). Sebuah perjanjian harus dapat memberikan manfaat bagi negara-negara yang bergabung dalam suatu perjanjian. Terdapat beberapa pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli hubungan internasional, antara lain. 

a. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M

Perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.

b. Konferensi Wina 1969

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dipatuhi oleh setiap negara berdasarkan hukum internasional yang berlaku.

c. Oppenheimer

Dalam bukunya yang berjudul International Law, Oppenheimes mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “international treaties are states, creating legal rights and obligations between the parties” atau perjanjian internasional melibatkan negara-negara yang menciptakan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.

d. K.J. Holsti

Perjanjian internasional merupakan hasil interaksi antarnegara yang diwakili pemerintah bersepakat untuk merundingkan, menyelesaikan, dan membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian yang memuaskan kedua belah pihak. 

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional

Terdapat banyak perjanjian internasional yang mengatur setiap negara di dunia. Pengklasifikasian perjanjian internasional ini dapat dibedakan dari aspek subjek, isi, proses, dan fungsinya.

a. Klasifikasi berdasarkan subjek perjanjian, antara lain perjanjian antarnegara yang merupakan hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. 

b. Klasifikasi berdasarkan isi perjanjian dibagi atas beberapa faktor yang melatarbelakangi, yaitu secara politis, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Organisasi NATO dan SEATO didirikan karena faktor politis. Secara ekonomi, perjanjian dapat dilihat dalam bantuan keuangan dari lembaga atau organisasi keuangan internasional, misalnya IMF, World Bank, dan CGI. Secara hukum, pengklasifikasian perjanjian berdasarkan isi dapat dilihat pada perjanjian ekstradisi antarnegara. Batas wilayah antarnegara dapat dilihat pada perjanjian teritorial, batas laut, dan batas daratan. Perjanjian secara kesehatan dapat dilihat pada kerjasama penanggulangan penyakit AIDS, flu burung, dan sebagainya. 

c. Klasifikasi berdasarkan proses pembentukan perjanjian dapat dibagi dua. Pertama, perjanjian yang bersifat penting. Perjanjian bersifat penting dibuat melalui proses perundingan, penandatangan, dan ratifikasi sehingga menjadi hukum internasional yang mengikat negara-negara yang menandatangani. Kedua perjanjian bersifat biasa. Perjanjian bersifat biasa dibuat dengan melakukan perundingan dan penandatanganan perjanjian. 

d. Klasifikasi berdasarkan fungsi perjanjian merupakan perjanjian yang mengatur tata cara pengaturan hubungan internasional bagi setiap negara dalam bentuk hukum yang mengikat setiap negara yang menandatangani. Contohnya adalah Konvensi Wina tahun 1958 tentang hubungan diplomatik yang harus ditaati oleh setiap negara di seluruh dunia. Selain itu, ada juga yang disebut perjanjian khusus. Perjanjian khusus mengikat negara-negara tertentu dalam bentuk hak dan kewajiban negara-negara penandatangan 

3. Tahap-tahap Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral (banyak negara). Tahap-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.

a. perundingan (negotiation),
b. penandatanganan (signature),
c. pengesahan (ratification).

Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen.
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu 

a. Perundingan (Negotiation)

Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. 

b. Penandatanganan (Signature)

Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian. 

c. Pengesahan (Ratification)

Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. 

Di Indonesia, tahapan pembuatan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini.

a. Penjajakan, merupakan tahap awal yang dilakukan para pihak yang akan melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

b. Perundingan, merupakan tahap setelah adanya kesepakatan yang dibuat dalam tahap penjajakan. Perundingan merupakan tahap kedua yang membahas materi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

c. Perumusan naskah, merupakan tahap pembuatan perjanjian internasional yang tujuannya untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan ditandatangani para pihak terkait.

d. Penerimaan, merupakan tahap penerimaan para pihak atas naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati.

e. Penandatanganan, yaitu tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. 

Terdapat perbedaan kekuatan untuk mengikat dalam perjanjian bilateral (perjanjian dua negara) dengan perjanjian multilateral (banyak negara). Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “penerimaan”. Penerimaan dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) umumnya merupakan tindakan pengesahan suatu negara atas perubahan perjanjian internasional. 

Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak yang tunduk pada ketentuan perjanjian internasional. Di Indonesia, sesuai ketentuan Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, proses mengikatkan diri pada perjanjian internasional dilakukan melalui cara-cara berikut.

a. penandatanganan,
b. pengesahan,
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik,
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. 

Negara dapat dikatakan terikat pada perjanjian internasional setelah dilakukan pengesahan baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan (approval). Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk 

a) Ratifikasi (ratification),
Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian. 

b) Aksesi (accession),
Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. 

c) Penerimaan (acceptance) dan Penyetujuan (approval).
Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut. 

Tahukah kamu?

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak/KHA (Convention on the Right of the Child/CRC) pada tanggal 26 Januari 1990 melalui Kepres RI. No. 36 Tahun 1990. Tindakan pemerintah Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan dan pengembangan hak-hak anak di Indonesia. 

Selain pengesahan, negara-negara yang terlibat dalam perjanjian intenasional dapat menyatakan persyaratan (reservation) atau deklarasi/ (declaration). Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Pernyataan (declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Pernyataan dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut.

Dalam praktiknya, terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan. Untuk perjanjian-perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan terdapat beberapa bentuk pengesahan. 

4. Proses Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia

Terdapat tiga model pengesahan yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu.

a. Pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif suatu negara dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif. Model pengesahan demikian umumnya dilaksanakan di negara-negara yang menganut sistem monarki (kerajaan) absolut dan otoriter.

b. Pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif nasional dilakukan oleh badan legislatif. Model pengesahan tersebut jarang terjadi atau bahkan saat tidak ada negara yang menganut sistem tersebut. Hal ini disebabkan karena pihak yang membuat perjanjian adalah pemerintah negara (eksekutif) sehingga dalam pengesahaannya pemerintah (eksekutif) akan selalu diikutsertakan.

c. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara bersama-sama antara legislatif dengan eksekutif. Model ini disebut dengan sistem campuran. Sistem campuran ini paling banyak digunakan negara-negara di dunia. 

Di Indonesia, pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem campuran. Landasan yuridis pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain. Ketentuan tersebut bersifat umum dan tidak memuat bagaimana proses pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia dengan pihak lain. UUD 1945 juga tidak memuat ketentuan bagaimana proses pengikatan diri terhadap perjanjian yang dibuat. 

Pada masa Pemerintahan Orde Lama, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, didasarkan pada ketentuan yang ada dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. Surat tersebut dibuat dan dikirim Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22 Agustus 1960. Inti Surat Nomor 2826 HK/1960 adalah pemerintah meminta persetujuan DPR, jika materi perjanjian internasional tersebut bersifat penting. Akan tetapi, jika perjanjian mengandung materi lain, DPR cukup diberitahukan saja. Dalam praktiknya, terjadi berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut sehingga perlu dibuat undang-undang tentang Perjanjian Internasional.

Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 berlaku hingga tahun 2000. Surat Nomor 2862 HK/1960 tersebut tidak berlaku lagi setelah diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 23 Oktober 2000. Dengan demikian, segala bentuk perjanjian dan proses pengesahan perjanjian internasional tidak lagi didasarkan pada ketentuan Surat Nomor 2862 HK/1960 tapi mengacu pada ketentuan pada UU Nomor 24 Tahun 2000. 

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2000, proses pengesahan perjanjian internasional diatur pada BAB III (Pasal 9 – 14) tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Menurut ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2000, semua pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah RI juga dapat membuat perjanjian internasional melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.

Materi perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia,
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara,
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
e. pembentukan kaidah hukum baru,
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. 

Tahukah kamu?

Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi seperti yang disebutkan di atas, dilakukan dengan keputusan presiden. Pengesahan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk keputusan presiden harus disampaikan kepada DPR. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. 

0 komentar:

Posting Komentar