Theologi Pembebasan

By : Vanguard
Croatto : “Bahasa Paulus mengenai pembebasan dari dosa, hukum taurat dan maut mempunyai arti yang melebihi apa yang dikatakan oleh Paulus dalam konteksnya. Apa yang tidak dikatakan dalam perkataan Paulus, harus kita tambahkan sendiri ketika membaca surat Paulus; dengan membebaskan kita juga dalam penindasan ekonomi, politik  dan sosial, Kristus mengabulkan maksud Allah, menciptakan manusia yang bebas dan kreatif, dan bukan para budak.” (Hasil Konferensi para Uskup dari Amerika Selatan di Medllin 1968; dikutip oleh Cochlovius. Hlm 99.)
A. Definisi Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan merupakan kata majemuk dari kata teologi dan pembebasan. Secara etimologi teologi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos  yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideology pengembangan ekonomi yang cenderung kapitalistik.Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni  pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Michael Lowy yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah “Pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada awal tahun 1960-an, memang sudah ada sebelum penulisan teologi itu sendiri.”1
Sedangkan menurut salah satu situs internet http://teologipembebasan.com. Bahwa yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah “Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke dalam praksis, yang tentunya hal ini berlaku di tengah-tengah kondisi dan situasi kemiskinan dan penderitaan rakyat.”2
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian di atas. Maka, dapat disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk membebaskan mayoritas rakyat seperti dicontohkan revolusi Iran penjatuhan rezim Syah Pahlevi.
Gustavo Gutierrez: “This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”. (Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16) Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.3
B. Selayang pandang Teologi Pembebasan
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan.
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.”
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20. Bahwa : “Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.”4
Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan. 
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.
Sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi tradisional, yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas. “Gereja dan dunia tidak bisa lagi dipisahkan. Gereja harus membiarkan dirinya untuk didiami dan diinjili oleh dunia. "Sebuah teologi Gereja di dunia harus dilengkapi dengan teologi dunia dalam Gereja" (Gutierrez). Bergabung dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas melawan penindas adalah tindakan "konversi," dan "evangelisasi" adalah mengumumkan partisipasi Allah dalam perjuangan manusia untuk keadilan.” 5
Kemudian pihak geraja melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Rakyat harus disadarkan bahwa kemiskinan dan ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat harus dipintarkan, kemudian geraja mempolopori pembebasan memalui intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, kolumbia (1937), Universitas Katolik di Lima(1942), di Rio de Jeneiro dan Sao Paulo (1947), Porlo Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960).
Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Fhilipina, termasuk juga Indonesia.Menurut  seorang teolog dari Sri Lanka yaitu Aloysius Pieris, yang mengamati perkembangan teologia di Asia mengatakan : “Teologia Pembebasan mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dipunyai oleh teologia klasik ... di gereja timur, metode baru ini sudah bersaing dengan teologia tradisional, sebagai hasilnya berdirilah EATWOT (The Ecumenical Association of Third World Theologians)”.6
Hampir berbarengan dengan itu pada tahun 1970, James Cone, Profesor di Union Theological Seminary menerbitkan A Black Theology of LiberationYaitu pemusatan kepada kelompok yang tertindas, dan adanya definisi istilah teologia yang diartikan dalam konteks sosial politik. Pengaruhnya segera meluas dan mendapat sambutan yang hangat oleh negara-negara dunia ketiga. Rasa solidaritas dunia ketiga yang rata-rata merupakan korban penjajahan, kemiskinan yang masih merajalela, sedangkan hasil kemajuan teknologi impor hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil lapisan atas, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin semakin nampak. Perkataan seperti pembangunan nasional, kemanusiaan, keadilan, tidak asing lagi.

C. Islam Muncul Adanya Penidasan dan Ketidakadilan
Islam pada awal perkembanganya banyak dipeluk oleh orang-orang yang bukan merupakan golongan elit di masyarakat. Muhammad sebagai pembawa risalah juga berasal dari keluarga quraisy yang walupun cukup terpandang, tapi tidak tergolong sebagai keluarga yang kaya dan tidak memiliki status social yang tingi di mata masyarakat. Pada saat itu islam menjadi tantangan yang luar biasa bagi para saudagar kaya Mekkah, sehingga kemudian mereka menolak ajarannya. Bukan semata-mata karena mereka menolak risalah tauhid, tetapi lebih kepada ketakutan mereka terhadap islam yang akan membawa perubahan social, khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politis maupun ekonomi. Ditengah situasi yang tidak menentu, karena kuatnya dominasi para saudagar arab waktu itu, dan dibumbui dengan adanya isu-isu seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan yang baru lahir, penindasan terhadap orang-orang miskin. Dari latar belakang keadaan kehidupan seperti itu nabi Muhammad muncul sebagai pembawa kebebasan. Dan tidak ada alasan lagi bagi para pengikut Muhammad untuk tidak megikuti ajarannya sebagai pembebas orang yang tertindas. Pada masa kenabian Muhammad islam memberikan kritik yang mendasar pada system dalam ekonomi yang dijalankan oleh kaum Quraisy mekah yang timpang dan kapitalistik. Meminjam bahasa Marx, sebenarnya Islam telah menyediakan basis hadirnya sebuah revolusi, yaitu unsur pasif dasar material. Islam menemukan senjatanya pada kaum yang tertindas, dalam istilah islam dikenal dengan kaum mustad’afin sedangkan kaum tertindas menemukan inspirasinya dalam berbagai ayat Al-quran dan perkataan nabi Muhammad dalam sunnah-Nya.7
D. Revolusioneritas Yesus Kristus
Yesus seringkali dipandang sebagai revolusioner, apa yang ditekankan dalam Kristologi pembebasan adalah Yesus historis. Yesus dipahami hanyalah sebagai nabi dan tidak berarti bahwa Ia menyampaikan kepada umat apa yang difirmankan oleh Allah. Melainkan adalah bahwa Yesus menjalankan kritik terhadap masalah-masalah ketidak-adilan di dalam masyrakat. Jadi Kristus yang dipahami oleh teologi pembebasan adalah Kristus sejarah saja yang hanya mendukung pikiran revolusi secara teologi. Pendamaian diartikan hanya sebagai pembebasan rakyat yang tertindas secara politis. Yesus ditafsirkan sebagai pelaksana rencana Bapa dengan sasaran pendamaian, pendamaian dengan Allah terjadi sebab Yesus membebaskan rakyat yang tertindas dan mencela para penindas. Karena itu Eta Linnemann menuliskan “maka teologi pembebasan bukanlah salah satu teologi Kristen, melainkan hanya satu pengajaran sesat yang menyalahgunakan nama Yesus dan semua istilah dari pengajaran Kristen.”8

L Roy : “Keselamatan berarti pembebasan dalam bidang politik, pembebasan dari segala macam penindasan yakni yang didefenisikan demikian oleh mereka, yaitu sang manusia menerima kembali kemanusiaan penuh dengan benar, istilah keselamatan diubah bentuknya menjadi pembebasan politik.” Burgess Carr pada sidang Konferensi Gereja-Gereja seluruh Afrika (AACC); dikutip oleh Le Roy (1980). Hal 190.

Catatan Kaki :
1Michael Lowy, TEOLOGI PEMBEBASAN, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000). Hlm. 26
2http://teologipembebasan.com
3Sona-adiansah.blogspot.com
4Grenz, 20th Century 211, Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A.
Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985). Hal 635.
5www.http:// Prasasti Perangin-angin, S.Pd/teologi pembebasan.com
6 http://webserch.teologi pembebasan.com 
7Sona-adiansah.blogspot.com
8Op.Cit. hlm 185





0 komentar:

Posting Komentar