Kekerasan aparat kepolisian dan tindakan premanisme yang menimpa para pejuang agraria di Kabupaten Indramayu 25-29 Agustus 2013 kemarin.Adalah cermin konkrit yang menggambarkan betapa buruknya, tindakan Negara dalam melindungi hak-hak rakyat khususnya hak atas tanah. Konteks peristiwa yang dipicu pembanguan Waduk Bubur Gadung, ternyata merampas tanah rakyat. Lebih dari 200 hektar lahan garapan petani di Desa Loyang, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu. Lokasi pembangunan Waduk terdapat 30 KK anggota STI.
Salah satu turunan MP3EI (Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan Ekonomi Indonesia) adalah mengatur tentang pertanahan dan agraria. Dimana Negara atas nama kepentingan umum bisa merampas tanah-tanah rakyat untuk dijadikan investasi. Investasi ini tentunya sarat akan kepentingan untuk memperlancar arus modal terutama modal asing ke Indonesia. Praktek perampasan tanah ssemakin menjadi-jadi dan menimbulkan resistensi dirakyatnya. Banyaknya kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia adalah contoh yang nyata dimana rakyat kecil dijadikan korban penggususran dan perampasan tanah dan bangunan. Refresifitas yang dilakukan aparat keamanan terhadap petani yang berjuang mempertahankan tanah dan ruang agrarianya juga sudah terjadi dimana-mana. Persoalan agraria bukan hanya persoalana petani saja, melainkan adalah persoalan rakyat. Karena jelas, rakyatlah yang menjadi subyek dalam dunia agraria.
Belum lagi pada bulan ini Peraturan Daerah Istimewa (PERDAIS) digodok dalam rapat DPRD yang rencananya pada akir bulan ini akan disahkan. Perda Istimewa yang didalamnya juga mengatur tentang pertanahan Yogyakarta nantinya akan ada pengaturan khusus mengenai Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Dengan adanya UU keistimewaan Yogyakarta dan PERDAIS ini maka jelaslah sebagai salah satu regulasi yang mengatur tentang status tanah-tanah kerajaan tersebut sah secara hukum. Kekuasaan Keraton Yogyakarta beserta keluarganya semakin berkuasa atas kepemilikan tanah.
0 komentar:
Posting Komentar