MY WAY (마이 웨이)


MY WAY (마이 웨이)

Sutradara  Kang Je-Gyu
Produksi CJ Entertainment, SK Movies, 2012
Sinopsis-Nya :

Di masa pemerintahan kolonial Jepang atas Korea, dua orang anak laki-laki tumbuh dengan ambisi menjadi pelari marathon olimpiade. Tatsuo Hasegawa (later played by Joe Odagiri) adalah cucu seorang Jendral Jepang, sementara Kim Jun-Shik (later played by Jang Dong-Gun) adalah anak pekerja penjaga peternakan sang Jendral. Sebuah insiden kemudian meninggalkan konflik diantara keduanya, hingga keduanya bertemu kembali di sebuahTokyo Olympics. Jun-Shik yang merupakan peserta underdog dan kesehariannya menjadi penarik becak berhasil memenangkan pertandingan dan mencoreng malu di wajah Jepang dengan Tatsuo yang tetap berstatus bangsawan dan calon dokter sehingga memperuncing konflik diantara keduanya. Hasilnya, kemenangan Jun-Shik tak diakui dan rekan-rekannya yang ikut memberontak dijatuhi hukuman untuk mendaftar paksa sebagai prajurit Jepang. Disana, Jun-Shik yang mendapat tekanan dari prajurit Jepang malah tergerak untuk menyelamatkan seorang sniper Cina, Shirai (Fan Bing Bing) yang merupakan tentara musuh. Tekanan itu makin bertambah kala Tatsuo yang sudah berpangkat kolonel di masa-masa Perang Dunia II menemukan jalannya untuk memimpin pasukan Jun-Shik. Tujuannya hanya satu, menyiksa pelan-pelan rivalnya, namun perang yang berkembang membuat mereka bersama menjadi tawanan Soviet di kamp konsentrasiGulag, berperang untuk Jerman sampai akhirnya semua memuncak di tengah serangan D-Day AS ke Normandia. Dan seperti pelari profesional, Jun-Shik tak akan pernah berhenti sampai sejauh mana ia bisa.


Sekilas Info pra Produksi :

Nama-nama sineas Korea Selatan seperti Kim Ki-Duk, Park Chan-Wook atau Na Hong-Jinmungkin sudah bersinar atas film-film Korsel yang go-international ke festival-festival dan dipuji kritikus dimana-mana dengan style mereka dalam trend sekarang. Penuh twist, mostly like an artwork, penuh kesadisan fisik atau psikologis yang sangat dalam. Namun jangan pernah lupa dengan Kang Je-Gyu / Kang Je-Kyu. Dalam terms blockbuster, ia memang bekerja seperti seorang Steven Spielberg, bahkan ada yang menganggapnya sekelas Michael Bay. Ia tak pernah muncul dengan kedalaman plot dan dalam-dalam yang lain, kecuali dalam visual dan emosi yang kesannya sangat pop, kadang terasa sangatHollywood blockbusters. Penuh dengan klise-klise, adegan-adegan yang ‘inspired from’ (biasanya dari film-film raksasa Hollywood) dan ekplosifitas lainnya termasuk bujet. Tanpa dia, tak akan pernah perfilman Korsel melebarkan sayap sebesar sekarang. ‘Shiri’ (1999) adalah tonggak menginternasionalnya perfilman mereka, dan awal-awal masa keemasan ini berlanjut lagi dengan ‘Taegukgi’ (2004) yang semakin membawa perfilman mereka dikenal belahan dunia lain. Sebuah ‘versi lain’ (baca=unofficial remake, bila Anda menuduhnya begitu) dari ‘Saving Private Ryan’ dengan porsi hati yang kelewat gede bahkan visual yang nyaris melampauinya.


groundbreaking bagi perfilman mereka, Je-Gyu kembali dengan tema yang tak jauh dari ‘Taegukgi’. Sebuah drama tentang ikatan laki-laki di tengah kekejaman perang sebagai dasarnya, tapi tak akan sulit digolongkan sebagai ‘war movies’ atas tampilannya. Dan ini, juga sebuah karya groundbreaking, dalam hal bujet yang mencapai hampir 30.000.000 KW (Korean-Won), sepantaran bujet produksi film-film Hollywood, over 16.000 extras dari berbagai bangsa (dua pemeran utamanya saja dari Korsel dan Jepang, masing-masing adalah first rate idols, plus Fan Bing Bing dari China), 5500 shots (2000 lebihnya dipoles dengan CGI), 5 negara untuk set (Korea, China, Perancis, Rusia dan Latvia) plus set sebesar 250 hektar, 5 bahasa dalam skenario, dan masa pembuatan nyaris 10 bulan dengan riset bertahun. Itu masih ditambah lagi dengan lebih dari 57.000 peluru yang ditembakkan plus setahun lebih melobi seorang Andrea Bocelli untuk mau menyanyikan theme song yang ditulis khusus untuknya, ‘To Find My Way’. Sebelum peredaran luasnya, promo dan premierenya juga sudah melanglang buana ke berbagai festival dunia. Just huge.

So what about the title ‘My Way’ and olympic runners theme? Ah, mungkin saja Je-Gyujuga terinspirasi mengganti judul awalnya, ‘D-Day’ menjadi ‘My Way’ dari sebuah film produksi Afrika Selatan tahun 1972 (Emil Nofal & Roy Sargent; directors) berjudul sama yang meski terlupakan di negaranya tapi cukup besar gaungnya di Asia termasuk Indonesia yang baru mengedarkannya di era trend film-film tentang pelari bertahun-tahun setelahnya. Apalagi, film itu menjual popularitas lagu ‘My Way’ yang sangat everlasting sampai sekarang. Meski sebagian besarnya adalah perang, that runner themes, memegang peranan penting dalam latar keseluruhan film ini, sama seperti cinta dan persaudaraan, masing-masing dalam ‘Shiri’ dan ‘Taegukgi’. Dan Je-Gyu, apapun itu, tak pernah jauh-jauh dari tema ‘bonds between men’. So you’ve already got the picture what this is all about, let’s go to the plot.


Dari proses produksi rumit dengan bujet dan persiapan raksasa itu, Je-Gyu sudah membangun ‘My Way’ di kelas blockbuster seperti yang diharapkan. Intensitas adegan perang dan drama POW (Prisoner Of War) yang kabarnya diadaptasi secara lepas dari kisah nyata yang pernah disaksikan Je-Gyu lewat sebuah dokumenter, tampil dengan solid tanpa menyisakan prolog yang terlalu lama sebagai salah satu pencapaian terbaik dari sinema genre perang berkelas dunia. It grabbed us and never let go, dengan pengadeganan yang meski mengingatkan kita ke blockbuster-blockbuster Hollywood, dari ‘North By Northwest’ sampai ‘Pearl Harbor’ dan tentunya lagi-lagi, ‘Saving Private Ryan’, kadang nyaris menyamai dan di beberapa sisi lain muncul bahkan lebih dahsyat dari aslinya. Rentetan letusan senjata, man on man fights, ledakan demi ledakan, tank war, pesawat tempur, percikan mesiu yang menyentuh lensa kamera yang menggunakan teknik shakycam, semua hanya punya satu terjemahan. Kolosal luar biasa. Set buatan hingga yang mengambil lokasi antarnegara itu bersama kostum dan production values lainnya pun tak kalah solid, tak sekalipun terasa tersia-sia, termasuk sinematografi dan efek spesial yang tetap terjaga. Semua bergantian menyajikan keindahan visual dibalik kekejaman perang yang digambarkan, dibalik skor Lee Dong-Jun (juga komposer ‘Shiri’ dan ‘Taegukgi’) yang di-set dengan orkestrasi penuh.


Namun tampaknya Je-Gyu kali ini terbentur di dramatisasinya. Tak seperti ‘Taegukgi’ yang menusuk sampai ke hati dalam memancarkan empati penuh terhadap persaudaraan dua karakter utamanya, bahkan lovestory dalam ‘Shiri’ yang juga sama terasa mencuat ke depan melebihi pameran actionnya, tema ‘bonds between men’ dalam ‘My Way’ terasa terlalu bertabur hingga tak lagi bisa fokus ke salah satunya. Je-Gyu agaknya terlalu sibuk membangun heroisme dalam karakter Jun-Shik tanpa lagi menyisakan empati bagi Tatsuo dalam turnover yang kelewat singkat, meskipun ini bisajadi untuk mendeskripsikan hubungan mereka yang menjadi pesan utama dalam tagline-nya (‘In A World At War, My Enemy Is My Salvation’). Begitu hitam putihnya garis batas karakterisasi itu ditekan sampai ke titik paling maksimal, hingga heroisme dan envy-ness itu kadang terasa over-portion serta tak sejalan dengan eksekusi endingnya, dan memang dibawakan dengan style komikal oleh para pendukungnya. Bukan berarti akting mereka tak bagus, terlebih Fan Bing Bing yang tampil singkat namun sangat berkesan bersama karakter Jong-Dae yang diperankan oleh Kim In-Kwon. Tapi apa boleh buat, skenario yang ditulis Je-Gyu bersamaNa-Hyeon sudah seperti itu. Sedikit banyak, ini juga punya dampak terhadap karakter-karakter sampingan yang disempalkan demi dramatisasi atas ekses kekejaman perang yang bisa merubah jiwa-jiwa manusia di dalamnya, hingga jadi tak lagi kelihatan begitu berarti. Bahkan skor Lee Dong-Jun, which at many times terasa kelewat majestis untuk memancing emosi pun tak bisa sepenuhnya menyelamatkan ini.


And so, what’s left dari film yang seharusnya bisa menjadi mahakarya dari Kang Je-Gyusetelah ‘Shiri’ dan dalam skala yang hampir sama besar, ‘Taegukgi’, adalah adegan-adegan perang berbalut efek yang memang memberikan kepuasan atas ekspektasi sebesar proses produksinya. Dari luar, dramatisasinya boleh saja mengharu biru sebagian orang, but if you look deeper, dan pernah merasakan bagaimana sempalan tema cinta dan persaudaraan dari dua film Je-Gyu sebelumnya terasa begitu menghujam ke dasar hati paling dalam, mostly ‘Taegukgi’ yang akan membuat Anda meneteskan airmata, that’s if you’re still a human, you’ll be with me. ‘My Way’ jelas sebuah karya Je-Gyu yang lagi-lagi, menunjukkan kualitas epik dan groundbreaking-nya serta sekali lagi meyakinkan para produser bahwa ia bukan orang yang salah untuk diserahi bujet terbesar dalam sejarah sinema mereka. Bagus sekali, but in terms of blockbusters that blended perfectly with its dramatizations, ini tak bisa menyaingi ‘Taegukgi’. (dan)

http://danieldokter.wordpress.com/2012/05/28/review-my-way-2012/


1 komentar:

Posting Komentar