Revolusi Hijau



Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk program industrialisasi dan modernisasi pertanian pembangunisme yang sepenuhnya menganut logika pertumbuhan. Program yang asal mulanya dari Amerika Serikat ini diperkenalkan ke Dunia Ketiga sebagai pelaksanaan teknis Developmentalisme. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau tidaklah sekadar program pertanian belaka, melainkan suatu strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme. Selama empat puluh abad pengetahuan masyarakat dalam bertani untuk pertama kalinya menghadapi penggusuran dan untuk pertama kalinya pula dalam sejarah pertanian manusia, suatu model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinasional barat, mencoba melakukan hegemoni dari berbagai ragam pengetahuan pertanian manusia dan direduksi menjadi hanya satu pola bentuk pertanian. Program yang didukung oleh pusat penelitian global raksasa seperti International Rice Research Institute (IRRI) di Fhiliphina dan International Maize and Wheat Improveraent Center (CIMMYT) di Mexico benar-benar mengubah wajah pertanian dunia. Dewasa ini didunia terdapat 13 lembaga riset sejenis itu dikelola dan dikembangkan oleh CGIAR (The Consultative Group For International Agricultural Research) yang menjadi tulang punggung program Revolusi Hijau. Akibatnya, petani yang telah hidup selama 5000 tahun memproduksi, menyeleksi, menyimpan, dan menanam kembali. Benih mereka, secara dramatik tergusur dan musnah.
Tiba-tiba benih menjadi komoditas komersial dan privat. Revolusi Hijau telah merampas kontrol atas sumber tanaman dari pangan petani dunia ketiga ke Teknokrat Barat di CIMMYT, IRRI, dan perusahaan bibit multinasional. Benih ternyata menjadi salah satu sumber keuntungan dan kontrol. Masalahnya, benih unggul “ajaib” yang mereka ciptakan dan dipaksakan kepada petani ternyata juga merupakan keajaiban komersial. Benih-benih akan kembali kesifat aslinya apabila ditanam kembali secara berulang-ulang oleh petani, karena itu setiap musim tanam petani harus membelinya untuk tetap mendapatkan padi “unggul”. Petani menjadi sangat tergantung pada industri benih, serta tidak bisa lagi mengontrol benih dan memproduksinya sendiri. Revolusi Hijau telah menggusur tidak saja ribuan jenis atau varietas padi tradisional, tetapi juga merampas keseluruhan tanaman padi yang asal mulanya berada ditangan petani Dunia Ketiga.
Keberhasilan Revolusi Hijau dalam proses penggusuran itu dilakukan dengan banyak cara. Sebelum memperkenalkan ciptaan “unggul” mereka, bibit-bibit milik rakyat serta berbagai buah-buahan tradisional rakyat diberi label “primitif dan inferior” oleh aparat modernisasi. Pelabelan ini kemudian diikuti dengan diikuti dengan promosi secara besar-besaran jenis-jenis Hibrida unggul. Produk industri kepada petani yang dikampanyekan tahan terhadap segala hama penyakit tanaman. Kenyataan sesungguhnya memperlihatkan apa yang mereka ciptakan ternyata tidak unggul sama sekali, dan strategi IRRI, terbukti tidaklah menghasilkan apa yang terbaik bagi petani Asia. Filiphina sebagai proyek percontohan Revolusi Hijau di Asia telah menunjukkan sebuah bukti konkret, varietas IR-8 yang dikeluarkan tahun 1966 mengalami penderitaan serius diserang oleh hama antara tahun 1968-1969, dan pada tahun 1970-1971 Wereng Tungro menghancurkan IR-8 diseluruh Filiphina. Varietas IR-20 selanjutnya diciptakan dalam rangka menggantikan IR-8. Pada tahun 1971-1972, IR-20 diproklamirkan sebagai bibit baru  yang tahan terhadap hama dan Tungro. Namun pada tahun 1973, hama belalang dan wereng menghancurkan jenis IR-20 dihampir seluruh propinsi di Filiphina. Sebagai jawaban atas wabah yang terjadi, varietas barupun diciptakan dan dilemparkan kembali, yakni IR-26. Namun nasib IR-26 ini juga tidak beda, pada tahun 1974-1975 hancur diserang hama belalang jenis baru. Pada tahun 1976, kembali varietas baru diluncurkan dan diberi judul IR-36. Tapi selalu saja setiap setiap ditemukan bibit unggul baru, musuh barupun bermunculan.
Dalam pelaksanaannya, Revolusi Hijau dilakukan dalam bermacam bentuk dan cara. Diindonesia misalnya, Revolusi Hijau dilakukan melalui “komando dan subsidi”. Program BIMAS (Bimbingan Massal) tahun 1970 adalah salah satu bentuk pelaksanaan Revolusi Hijau. BIMAS adalah suatu paket program pemerintah yang berupa teknologi pertanian benih Hibrida (keturunan hasil penyilangan/perkawinan silang dua species yang berbeda), pupuk kimia, pestisida (racun serangga; racun pembasmi hama tanaman), dan bantuan kredit. Ketika jumlah BIMAS menurun, pemerintah melontarkan program baru INMAS (Intensifikasi Massal) diluncurkan. Tujuannya adalah untuk mendorong petani menanam tanaman sambil mengontrol hama padi.
Program-program yang diluncurkan pemerintah ini dibarengi dengan beberapa subsidi. Bentuk-bentuk subsidi tersebut adalah:
1.      Bantuan dan subsidi besar-besaran terhadap pupuk kimia,
2.      Subsidi terhadap kredit pertanian,
3.      Pembayaran gabah oleh Negara melalui operasi pembelian dengan harga dasar dan pembangunan stok persediaan,
4.      Meningkatkan kuantitas irigasi serta peminjaman modal melalui utang luar negeri.
Hasil kuantitatif Revolusi Hijau diindonesia memang menakjubkan disatu pihak, pertanian dijawa mampu memproduksi dua kali lipat padi disbanding hasil pertanian dipulau jawa 1960 an. Jawa menyumbangkan lebih dari rata-rata kontribusi pangan nasional, dalam arti hasil dibanding daerah lain diindonesia, dan karena itu mematikan peran utama dalam perubahan status Indonesia dari pengimpor beras terbesar menjadi mandiri pada tahun 1985.
Namun demikian juga dilihat secara kualitatif dan kritis, terdapat berbagai persoalan yang berdampak terhadap meningkatnya kemiskinan dipedesaan, Urbanisasi (pindah kekota), serta represi politik terhadap kaum tani. (banyak studi telah dilakukan diantaranya oleh Gunawan Riyadi).
Dalam rangka untuk mencegah terjadinya penolakan penyebab marginalisasi akibat dari program tersebut, pemerintah telah menerapkan suatu mekanisme kontrol politik dengan memperkenalkan floating mass policy, yakni melarang organisasi massa dan politik berkembang ditingkat desa. Pemilihan kepala desa diganti dengan sistem penunjukan, dan seringkali dengan seorang militer untuk melengkapi Komando Rayon Militer (Koramil) ditingkat kecamatan. Pembentukan KUD sebagai satu-satunya koperasi ditingkat kecamatan, serta kebijaksanaan tentang pemerintahan desa yang berlaku sejak tahun 1979 untuk menggantikan model rembug desa, adalah juga proses pembatasan politik petani melalui penciptaan lembaga yang bisa dikontrol.
Pembangunan merupakan kombinasi pengetahuan dan discourse pertanian, tekhnologi pertanian, serta kebijakan politik pertanian yang dikembangkan tanpa mempersoalkan struktur kelas masyarakat dalam suatu mode produksi yang kapitalistik dipedesaan pada Negara-negara Dunia Ketiga. Pelaksana Revolusi Hijau tingkat lokal, nasional sampai internasional sangat diuntungkan oleh program tersebut. Maka, dari itu mereka sangat berkepentingan untuk mempromosikan dan melanggengkan program ini. Kebijakan Revolusi Hijau juga menjadi sumber pendapatan bagi banyak pihak, termasuk pemilik tanah. Selain itu, petani juga harus membayar banyak ongkos termasuk bunga kredit, bibit, pupuk pestisida yang semuanya bersumber dari pinjaman Bank Dunia. Dilain pihak, proses tersebut sangat bergantung pada stabilisasi politik di pedesaan, pengetahuan pertanian modern, tekhnologi pertanian, dan perdagangan internasional. Bank Dunia selain mengeluarkan biaya (baca: utang) untuk mendidik tenaga ahli ke Dunia Ketiga untuk membantu pelaksanaan proyek tersebut. Sementara itu benih padi diproduksi oleh IRRI di Filiphina; pupuk dan pestisida diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Multinasional Amerika, Jepang, maupun Negara-negara Eropa. Yang semuanya menjadi industri yang bergantung pada suksesnya pelaksanaan Revolusi Hijau. Analisis tersebut menggambarkan bahwa masalah petani dan pertanian sangat saling terkait secara dialektis. Revolusi Hijau tidak sekadar tekhnologi budidaya pertanian, melainkan persoalan politik ekonomi pertanian. Revolusi Hijau juga pada dasarnya adalah masalah dominasi ideologi dan budaya, kekuasaan pengetahuan, persoalan kebebasan politik, dan tatanan ekonomi.

0 komentar:

Posting Komentar