Tan Malaka


“Hukum yang menguasai perkembangan sejarah, Hukum Tuhan, Hukum Alam, dan Hukum Ilmiah”. (Tan Malaka)

Riwayat Hidup


Tan Malaka, lengkapnya adalah Sultan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Ia lahir di Nagari Pandan Gadang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluah Koto, Ibukota Payakumbuh, Sumatera Barat. Ibrahim lahir tanggal 14 Oktober 1897 dari keluarga pegawai negeri rendah yang taat beragama. Dia masuk sekolah kelas 2 Suliki dari 1903-1908.

Guru-gurunya mendorong dan membantu agar Ibrahim melanjutkan pendidikan karena anak didik mereka itu mempunyai otak yang sangat tajam. Atas bantuan mereka, Ibrahim melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri atau sekolah Raja. Sekolah ini merupakan tempat pendidikan untuk para guru-guru pribumi di Fort de Kock atau bukit tinggi.

Setelah tamat di sekolah guru pada Oktober 1913, bersama keluarga Horensma, guru yang di sekolah Raja yang menganggapnya sebagai anaknya sendiri, Tan Malaka berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan diRijks Weekscool (sekolah guru) di Harleem atas bantuan biaya dari yayasan Engku Fonds. Selama belajar di Belanda, Tan Malaka sudah mulai belajar politik, membaca buku-buku politik, dan rajin mengikuti diskusi-diskusi bersama tokoh aktivis sesama pelajar, termasuk pelajar dari Indonesia.

Pada perang dunia I (1914-1918) dan Revolusi di Rusia yang melahirkan negara sosialis pertama di dunia, Oktober 1917, sangat mempengaruhi situasi dan suasana politik di Eropa waktu itu, termasuk di negeri kincir angin.

Pengaruh aliran kiri (sosialis) sangat kuat. Tan Malaka bersama para pemuda pelajar lainnya dari Indonesia menyerap pengaruh ini melalui bacaan karya tulis Karl Marx, Engels, Lenin, dan lain-lain karena tertarik kepada keberhasilan revolusi proletar Rusia tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Belanda, Tan Malaka bekerja sebagai guru di sekolah untuk anak-anakkuli kontrak yang bekerja di perkebunan. Tak lama setelah berada di Indonesia dan bekerja sebagai guru di Tanjung Morawa, matanya mulai terbuka. Ia melihat betapa kejamnya sistem kapitalis yang dipraktekkan di perkebunan-perkebunan di Deli memperlakukan bangsanya yang bekerja sebagai kuli kontrak. Dengan berbagai macam cara, seperti mengadakan perjudian dan pelacuran, sistem kapitalis itu melilit dan membelenggu kuli kontrak hingga pasrah menerima nasib mereka. Kuli-kuli kontrak itu tidak berdaya. Tidak ada orang yang membela mereka. Maka, terjadilah penindasan dan penghisapan manusia oleh manusia.

Dengan pikiran jernih dan hati mantap ia menentukan pilihan meninggalkan semua kemewahan dan kenikmatan sebagai guru perkebunan yang memdapat perlakuan yang sama dengan orang Belanda. Tan Malaka membuat ancang-ancang dan persiapan untuk menerjunkan diri sepenuhnya ke medan politik guna memperjuangkan nasib bangsa melawan sistem kapitalis kolonial yang merebut keperawanan ibu pertiwi.

Terjun ke Arena Perjuangan Politik

Tan Malaka memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Ia berlayar ke Jawa dengan tujuan Semarang untuk menemui teman-temannya yang telah dihubunginya. Mereka bersedia membuka jalan baginya untuk memasuki arena perjuangan politik.

Cita-cita dan tekad yang sudah lama dipendamnya adalah mendirika perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat murba waktu itu. Kemudian Tan Malaka bersama Semaun dan kawan-kawan SI (Serikat Islam) mendirikan perguruan, gedung sekolah itu menggunakan gedung rapat SI Semarang dan perlengkapan belajar dikumpulkan secara gotong royong. Dalam waktu dua tiga saja, Tan Malaka sudah bisa memulai sekolah dengan sekitar 50 pelajar. Sekolah itu bernama sekolah rakyat, akan tetapi masyarakat mengenalnya dengan sekolah Tan Malaka.

Tan Malaka sendiri mengungkapkan dalam tulisan otobiografinya dari penjara ke penjara, dengan mengutip dariEncyclopedia van Nederlands Ooet Indie VI-Suplement halaman 534, yang diterjemahkan ;
“Dimana-mana berdiri sekolah rakyat model Tan Malaka, diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan muda, sarekat pemuda, dan kepanduan. Saat waktu luang, dibuat kursus kilat untuk membentuk propagandis yang aktif, sebagai warga rumekso yang akan menjadi kader organisasi. Awalnya dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau rapat tertutp terbatas".
Demikian gambaran sekilas tentang kegiatan Tan Malaka dalam bidang pendidikan sebagai awal aktifitasnya dalam medan perjuangan bangsa.

Tahun 1921-1922 adalah merupakan permulaan nyata karier politik Tan Malaka karena ia mendirikan sekolah rakyat yang pertama di Semarang. Kemudian desakkan keadaan yang tidak memungkinkan dia membatasi kegiatannya hanya dalam bidang pendidikan saja. Kaum buruh sedang menggeliat, bergeak menghadapi kekejaman pertumbuhan kapitalisme kolonial Hindia Belanda. Jumlah tenaga, pimpinan, kader dan aktivis perjuangan masih terbatas.

Maka, mau tidak mau, Tan Malaka terseret untuk terjun dalam gerakan buruh. Pertama, dia terpilih menjadi wakil ketua serikat pegawai Pelikan Hindia (SPPH Tambang Minyak Cepu), dengan Semaun sebagai pendiri dan ketuanya. Kemudian dia juga terpilih menjadi ketua merangkap bendahara Sarekat Pegawai Percetakan.

Suatu waktu, Semaun berangkat ke luar negeri guna menghadiri kongres buruh di Moskow dan melakukan kegiatan lain sehingga cukup lama meninggalkan Indonesia. Akibatnya, jabatan ketua PKI kosong, sementara banyak masalah perjuangan yang harus ditangani. Kemudian, pada Desember 1921, PKI mengadakan Kongres VIII di Semarang. Dalam kongres itu, untuk menghindari kekosongan, ketua kongres memilih Tan Malaka mewakili Semaun menjadi ketua partai sekalipun ia telah mengungkapkan keberatannya dengan jabatan barunya itu, tentu saja kegiatan politiknya makin meningkat dan makin menonjolkannya sebagai tokoh gerakan. Posisi seprti itu dengan otomatis menyebabkan Tan Malaka menjadi sasaran penangkapan dan penahanan penguasa kolonial.

Pada tanggal 13 Februari 1922, ketika berada di Bandung untuk memeriksa gedung sekolah rakyat kedua, akhirnya Tan Malaka yang kegiatannya dan gerak-geriknya dengan ketat dan tajam selalu diikuti oleh polisi rahasia Belanda (PID) ditangkap dan ditahan. Sebenarnya penangkapan ini sudah lama diantisipasinya. Penyebab utamanya adalah pemogokan pegawai pegadaian. Kemudian pada tanggal 2 Maret 1922, pemerintah Hindia Belanda memutuskan Tan Malaka untuk dibuang keluar Hindia Belanda, ini tertanda dalam keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Maret 1922 nomer 2. Yang isinya menyatakan bahwa Tan Malaka secepat-cepatnya harus meninggalkan Hindia Belanda dan segala ongkos perjalanan menjadi tangguangan sendiri. Dan pada waktu itu Tan Malaka menulis brosur pembelaannya berjudul “Tunduk kepada kekuasaan tetapi tidak tunduk kepada kebenaran”.

September 1922, Tan Malaka bertolak dari Belanda menuju Berlin, Jerman, yang rakyatnya menderita berat akibat kalah dalam perang dunia I (1914-1918). Di Berlin, ia mempersiapkan perjalanan menuju Moskow. Akhirnya ia berangkat ke Moskow tahun 1922 mewakili Indonesia dalam Kongres Komitern IV. Disana ia mendapat perhatian karena menentang sikap permusuhan Komitern terhadap Pan-Islamisme yang dianggap sebagai kekuatan borjuis yang tidak bisa dipercaya.

Tan Malaka menekankan potensi revolusioner Islam di wilayah-wilayah jajahan dan pentingnya bekerja sama dengan mereka. Di Indonesia, sejak awal penjajahan Belanda sampai akhirnya kebangkitan kesadaran Nasionalisme, pemberontakan melawan penjajah selalu dilakukan oleh potensi Islam, antara lain SI. Sebab kebanyakan orang Islam adalah petani dan buruh miskin tertindas yang menginginkan kebebasan nasional dari cengkreman kapitalisme kolonial.

0 komentar:

Posting Komentar