Tolak Kenaikan Harga BBM

 
Sekolah bersama (SEKBER)
Tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)

Rencana pemerintah Jokowi-JK menaikan harga bahan bakar minyak menjadi 9.500 rupiah/liter tentunya menjadi satu kebijakan yang sangat merugikan Sekaligus menambah angka kemiskinan bagi rakyat indonesia. Alasan utama pemerintah Jokowi-JK menaikan harga bahan bakar minyak karena anggran untuk subsidi BBM dinilai membebani APBN sehingga pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak dengan memangkas subsidi untuk BBM dengan mengalihkan subsidi itu ke sector infrastruktur dan lainnya. Padahal APBN untuk tahun 2014 sekitar 1800 triliun sedangkan Subsidi untuk sector migas adalah 207 triliun atau 14%, dan sisanya 86% untuk sector lainnya.

Jelas bahwa alasan-alasan semacam ini sudah menjadi alasan klasik dan sangat tidak masuk akal. rencana Kenaikan harga bahan bakar minyak BBM lebih menenjukan upaya pemerintah untuk meliberalisasi sector migas untuk kepentingan perusahan-perusahan asing dari pada mementingkan kepentingan rakyat. Hal ini di buktikan dengan gagasan liberalisasi yang dimunculkan melalui Perpres Nomor 55 sebelumnya, yang menyerahkan harga BBM pada “harga keekonomian pasar”. Jelas disini telah terjadi kesalahan pemerintah, karena lebih mengedepankan perhitungan harga pasar dunia dari pada memikirkan untuk memenuhi kebutuhan BBM bagi rakyatnya, pemerintah tidak mau berpikir bagaimana memenuhi kecukupan BBM secara mudah dan terjangkau seluruh masyarakat. Pemerintah tidak mau berpikir dan mempertimbangkan dimana naiknya harga BBM berarti kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Sejak saat itu persiapan menuju liberalisasi migas di mulai, pemerintah Indonesia sudah memberi izin kepada perusahaan minyak raksasa dunia untuk melakukan ekplorasi migas, membuka SPBU dan terlibat dalam penjualan BBM. Misalkan antara lain : PT. chevron pacific indonesia (rokan PSC), mobil cepu.Ltd, British Petroleum (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China international jabung Ltd.(RRC), Petronas (Malaysia), Chevron-Texaco (Amerika), Exxon Mobil (Amerika), Total (Perancis), PT. PHE WMO. Alhasil perusahan – perusahan asing tersebut menguasai dan mencuri minyak - minyak milik rakyat indonesia. Sedangkan rakyat indonesia dipaksa membeli minyak yang seharusnya milik mereka dan menghadapi rencana pemerintah memenaikan harga minyak yang jelas menambah penderitaan buat rakyat indonesia. Maka sudah semestinya ponolakan atas kenaikan harga BBM menjadi suatu keharusan bagi seluruh elemen masyrakat, buruh, tani nelayan, mahasiswa, kaum miskin kota dan semua pihak yang dirugikan atas kenaikan harga bahan bakar minyak. Maka dari pada itu, Kami dari sekolah bersama (SEKBER) menyatakan sikap :

1. tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)

2. nasionalisasi semua aset – aset migas di bawah kontrol rakyat indonesia.

Sekilas tentang MC9 WTO Bali

 
Tanggal 3-6 desember 2013 kemarin, Indonesia menjadi tuan rumah bagi perhelatan bergengsi perdagangan internasional. Bali, menjadi tempat dimana Indonesia menyambut delegasi negara-negara untuk konferensi tingkat menteri (KTM) ke-9 (MC9), organisasi perdagangan dunia (WTO). Agenda utama yang menjadi targetan dalam pertemuan WTO kemarin yang disebut-sebut sebagai paket bali, memuat tiga paying besar;

1.Fasilitasi perdagangan

2.Paket pertaniaan

3.Kebijakan negara berkembang

Terkait perhelatan ini, maka posisi kritis perlu diambil terkait hal ini. Namun, sayangya, hampir seluruh kritisisme yang lalu lalang ditanah air-baik dari akademisi, aktivis, praktisi dan pemerintah keliru dalam melayangkan kritiknya. Umumnya kritisisme yang ada masih berkubang dan berkisar pada mitos tentang WTO : pertama, WTO dianggap sebagai sesuatu yang statis dan seperti dulu. kedua WTO adalah seperti zombie, suatu mayat hidup,institusi neoliberal yang terus berjalan sekalipun hampir tidak ada progress rill di lapangan tentang kesepakatan krusial. ketiga, kesiapan Indonesia dalam integrasi perdagangan global, lalu bahwa WTO mengancam kedaulatan negara, dan bahwa WTO merepresentasikan kepeentingan dan ekploitasi asing terhadap negara berkembang di selatan, ,

MC9 WTO harus diletakan dalam konteks restrukturisasi sistemik tatanan kapitalisme-neoliberal global pasca-krisis financial 2008. Dengan kata lain, setiap gerak-gerik WTO wajib dilihat sebagai upaya sistem global dalam memperbaharui dan memutahirkan sistem akumulasi profit berskala global yang sempat dihantam krisis. Studi mendalam yang dilakukan menunjukan bahwa sistem akumulasi profit yang paling dominan hari ini adalah akumulasi dari sector financial ketimbang sector rill. Sistem akumulasi ini ditopang oleh hegomoni moneter amerika yang diperolehnya dari teramat sangat-tinmgginya likuiditas kredit dalam dolar yang mengalir kesana melalui rupa-rupa produk financial (terutama derivative). Hegomoni amerika inilah yang membiayai geliat ekonomi rill (produksi dan konsumsi) global, yang salah satu implikasinya adalah yang di sebut-sebut sebagai” bangkitnya selatan”. Bangkitnya selatan, sayangnya, ada dalam scenario logis hegomoni moneter amaerika.

Krisis 2008 menyadarkan tentang betapa pentingnya ekonomi rill. Keberlangsungan dan keberlanjutan akumulasi profit di sector financial terbukti tidak dapat maju terus tanpa topangan sector rill. Sector rill inilah yang kemudian digalakan melalaui rupa-rupa kebijakan donor dan fasilitasi perdagangan. Yang mencengkam disini adalah bahwa isu pembangunanlah yang menjadi motor dalam akselerasi sector rill ini. Pembangunan yang tadinya berorientasi social, kini terkontaminasi dengan aspirasi profit jangka panjang. Akselerasi sector rill inilah yang menandai motif baru sistem perdagangan pasca-krisis: perdagangan rill digeliatkan semata-mata demi keberlangsungan sirkulasi ekonomi sector rill, sebagai semata-mata penopang keberlangsungan sistem akumulasi financial. proyek restrukturisasi pasca-krisis ini disebut sebagai perdagangan berkelanjutan.

Naiknya paradigma perdangan berkelanjutan ini simtomatik bagi suatu model perdagangan yang menumpukan dirinya pada sirkulasi ketimbang pertukaran langsung. Dalam paradigm sirkulasi ini, terdapat dua bentuk perdagangan yang terkait satu sama lain: sirkulasi barang-jasa dan sirkulasi financial. Untuk yang pertama inilah yang dikenal sebagai jejaring produksi global (GPN) dan /atau rantai nilai global(GVC). Penekanan WTO pada GPN/GVC dalam mempromosikan perdagangan internasional ini, terutama melalui program paying aid for trade, jelas menunjukan proses restrukurisasi ini. Karena Semenjak sirkulasi membutuhkan jejaring, maka kemulusan sirkulasi dalam jejaring ini yang menjadi perhatian utama WTO, yaitu untuk dihilangkan seluruh hambatanya. Tepat di sisnilah kritisisme seputar fasilitasi perdagangan semestinya dilayangkan.

Isu pertanian menjadi penting untuk disoroti bukan hanya karena ia menyangkut pangan yang dibutuhkan seluruh umat manusia, melainkan karena isu pertaniaan disini telah bertransformasi statusnya dalam paradigma sirkulasi perdaganan berkelanjutan. Pertanian merupakan sector terpenting untuk mengentaskan kemiskinan, sementara kemiskinan merupakan salah satu penghambat dalam memuluskan sirkulasi dalam jejaring produksi. Semakin banyak orang di negara berkembang sejahtera maka semakin kuatlah jejaring produksi global. Untuk tujuan inilah WTO, bersama world bank, menghimpun donor untuk proyek-proyek pembangunan pertanian dengan retorik pengentasan kemiskinan.

Untuk yang kedua, terkait sirkulasi financial, kita hanya perlu melihat aktifitas trading surat baerharga yang menggila di sentra-sentra financial, terutama di amerika serikat. Contoh paling ekstrim adalah total perdagangan derivative yang mencapai angka USS 1.160 triliun, atau 20x total GDP seluruh negara di dunia. Ini menunjukan sangat jelas bagaimana paradigma sirkulasi dalam ekonomi financial telah menjadi dominan di ekonomi hari ini. Untuk mempertahankan status qou dominasi inilah penguatan ekonomi rill digalakan. Selain GPN/GVC, proyek pembangunan global hari ini ditumpukan pada mediasi perbankan melalai rupa-rupa skema kredit, bahkan mikro kredit (yakni keuangan mikro). Demikian pula dengan donor-donor internasional, semuanya dilakukan melalui lembaga perantara yang adalah perbankan. Fenomena inilah yang disebut sebagai Finansialisasi pembangunan.

Kedua fenomena ini, yaitu GPN/GVC dan finansialisasi pembangunan, juga turut mensyaratkan suatu relasi kuasa yang mutahkir yang mampu mendisiplinkan dan menunduhkan seluruh dunia selamanya dalam sirkulasi perdagangan. Melalui GPN/GVC seluruh dunia dibuat menjadi tidak berdaya dan selamnya bergantung pada sirkuit jejaring produksi global, sehingga membuat kita berfikir bahwa apabila kita tidak berpartisipasi dalam jaringan maka, kita akan mati. Melalui financial pembangunan, seluruh dunia diletakan dalam logika hutang yang melaluinya sluruh umat manusia dibuat menjadi penghutang dan hidup untuk selamanya melunasi hutang. Masalahnya dengan demikian bukan sekedar mismanajemant dan misimplementasi pembelanjaan hutang. Melainkan lebih dalam, keberhutangan abadi ini yang membuat seluruh umat manusia menjadi terdisiplinkan untuk terus melumasi sistem ekonomi global ini yaitu kapitalisme-neoliberal.

Peran dan fungsi negara pun terut mengalami transformasi. Negara yang diyakini sebagai penyedian kesejahteraan dan keamanan rakyatnya, sebagai berada dipihak rakyat, kini dengan jelas menunjukan karakter aslinya yang sebenarnya berpihak pada pasar, pada kapitalisme. melalui program-program pembangunan, negera justru mengambil peran korporasi untuk mengembalikan nilai kerja umat manusia dalam rupa-rupa kesejahteraan. Bisa dikatakan bahwa korporasi global mengalih-dayakan tugas penyejahteraan umat manusia (sebagai pekerja) kepada negara. Bahkan melalui program-program pembangunan, sistem kapitalisme global mencoba memulihkan kedaulatan negara untuk kemudian memperkuat kapasitasnya dalam membangun masyarakatnya. Inilah mengapa cek-cok di seputar wacana “perampasan kedaulatan oleh WTO” menjadi tidak relevan dan wajib ditinjau kembali

Penataan ruang ke dalam jejaring yang dihidupkan melalui gelontor financial inilah yang turut mengubah imajinasi geopolitik global. Dunia, kini dilihat sebagai terhubung, terjejaring, dan terkoneksi. Setiap diskoneksi akan segera dilihat menjadi ancaman, dan akan segera “diamankan” oleh polisi-polisi dunia. Imajinasi ruang-terjejaring ini dengan demikian memiliki aspirasi kemaharajaan (imperial) semenjak ia berusaha memasukan seluruh dunia ke dalam jejaring, dengan cara apapun (persuasi maupun koersi) dengan jargon apapun (demokrasi maupun kontra-teror).

Pengaturan kuasa ini, yang cenderung berwajah garang, perlu ditopengi dengan wajah universal. Untuk inilah peran desain institusi dan legal WTO diarahkan. Desain plurilateralisme WTO, yang memungkinkan kesepakatan parsial untuk dihalankan tanpa harus menunggu seluruh anggota menyepakati, harus dilihat sebgai upaya untuk memastikan jejaring produksi berjalan tanpa hambatan-hambatan proteksionisme. Demikian pula aturan terkait badan penyelesaian sengketa memuat banyak klausul ambigu, merupakan jalan yang disediakan secara legal untuk sewaktu-waktu, jika diperlukan, member jalan masuk bagi negara-negara kuat untuk memutuskan melalui rupa-rupa pengecalian.