Sosiologi Komunikasi






A.   Pengertian Sosiologi Komunikasi

Sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti masyarakat, dan kata Logos yang berarti ilmu. Dalam kamus, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat. Ilmu Sosiologi muncul bersamaan dengan ilmu psikologi pada abad 19, dimana ilmu sosiologi merupakan perkembangan dari ilmu filsafat sosial. Filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan. Istilah sosiologi dipopulerkan oleh Hebert Spencer lewat bukunya berjudul Principles of Sociology. Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah :

a. Bersifat empiris
b. Sosiologi bersifat kumulatif
c. Bersifat non etis

B. Lahirnya Sosiologi Komunikasi

Asal mula kajian komunikasi didalam sosiologi bermula dari akar tradisi pemikiran Karl Marx. Karl Marx merupakan salah satu pendiri sosiologi yang beraliran Jerman. Sementara itu, gagasan awal Karl Marx tidak pernah lepas dari pemikiran-pemikiran Hegel. Hegel memiliki pengaruh yang kuat terhadap Karl Marx, bahkan Karl Marx muda menjadi seorang idealisme justru berasal dari pemikiran-pemikiran radikal Hegel tentang idealisme. Kemudian Karl Marx tua menjadi seorang materialisme.

Menurut Ritzer, dalam buku Burhan Bungin yang berjudul Sosiologi Komunikasi pemikiran Hegel yang paling utama dalam melahirkan pemikiran-pemikiran tradisional konflik dan kritis adalah ajarannya tentang dialektika dan idealisme. Dialektika merupakan suatu cara berpikir dan citra tentang dunia. Sebagai cara berpikir, dialektika menekankan arti penting dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi, yaitu cara berpikir yang lebih dinamis.

Di sisi lain, dialektika adalah pandangan tentang dunia bukan tersusun dari struktur yang statis, tetapi terdiri dari proses, hubungan, dinamika konflik, dan kontradiksi. Pemahaman dialektika tentang dunia selanjutnya dikemukakan oleh Jurgen Habermas dengan tindakan komunikatif (interaksi). Dengan demikian, sejarah sosiologi komunikasi menempuh dua jalur. Bahwa kajian dan sumbangan pemikiran Auguste Comte, Durkheim, Talcott Parson, dan Robert K. Merton,merupakan sumbangan paradigma fungsional bagi lahirnya teori-teori komunikasi yang beraliran struktural-fungsional. Sedangkan sumbangan-sumbangan pemikiran Karl Marx dan Habermas menyumbangkan paradigma konflik bagi lahirnya teori-teori kritis dalam kajian komunikasi.

B. Ruang Lingkup Sosiologi Komunikasi

Pada dasarnya manusia tidak mampu hidup sendiri di dalam dunia ini baik sendiri dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya. Terutama dalam konteks sosial budaya, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Karena pada dasarnya suatu fungsi yang dimiliki oleh manusia satu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi manusia lainnya. Sehingga fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia lainnya, dengan kata lain, manusia menjadi sangat bermartabat apabila bermanfaat bagi manusia lainnya.

Fungsi-fungsi sosial manusia lahir dari adanya kebutuhan akan fungsi tersebut oleh orang lain, dengan demikian produktivitas fungsional dikendalikan oleh berbagai macam kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan masing-masing secara individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka perlu adanya perilaku selaras yang bisa diadaptasi oleh masing-masing manusia. Penyelarasan kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan individu, kelompok, dan kebutuhan sosial satu dan lainnya, menjadi konsentrasi utama pemikiran manusia dalam masyarakatnya yang beradab.

Sosiologi berpendapat bahwa tindakan awal dalam penyelarasan fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia diawali oleh dan dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Aktivitas interaksi sosial dan tindakan komunikasi itu dilakukan baik secara verbal, nonverbal, mapun simbolis. Kebutuhan adanya sinergi fungsional dan akselerasi positif dalam melakukan pemenuhan kebutuhan manusia satu dengan lainnya ini kemudian melahirkan kebutuhan tentang adanya norma-norma dan peraturan yang disepakati bersama dalam masyarakat.


Jadi, lingkup komunikasi menyangkut persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan substansi interaksi sosial orang-orang dalam masyarakat; termasuk konten interaksi (komunikasi) yang dilakukan secara langsung maupun dengan menggunakan media komunikasi.

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Effendy, Onong Uchjana. 2000.
Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra AdityaBakti. McQuail, Dennis. 1987.
Teori Komunikasi Massa, ed. 2. Jakarta: Erlangga. Severin, Werner J., dan James W. Tankard, Jr. 2005.
Teori Komunikasi Massa: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media.





Memahami Efek dari adanya proses Komunikasi antar Budaya dan Agama



A. Pengertian
    
 a. Komunikasi antar budaya
         
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan. Kebiasaan, nilai pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuatan atau tindakan yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dalam suatu masyarakat. Ada beberapa perihal tanda kunci dari kebudayaan adalah kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk simbol. Kemudian direfleksikan dalam bentuk proses  komunikasi antar anggota maupun kelompok.
          
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari luar dan kedalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannnya. Diwujudkan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang diphami bersama.
          
Antropolog Edward T.Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, “tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan kulturalnya (Kreiss, 1993.13).
         
Adanya beberapa konsepsi diatas maka penyaji makalah berpendapat komunikasi dan budaya adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, antara satu dengan lainnya saling berhubungan (inrelation).
b. Agama
          
Agama dalam artian “klasik” merupakan seperangkat aturan yang menata hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Definisi tersebut kemudian dikritik, oleh karena agama hanya dilihat sebagai teks atau doktrinasi.
          
Pengertian lain atas agama adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang mengintrepretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.
          
Berdasarkan pengertian itu, agama sebagai suatu keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai sesuatu referensi, karena norma dan nilai itu mempunyai fungsi-fungsi tersebut yang dirumuskan dalam tugas dan fungsi agama. Berhubung para penganut agama itu berada dalam suatu masyarakat maka para sosiolog memandang semua agama dan lembaga keagamaan sebagai kelompok sosial.
          
Dengan beberapa pernyataan diatas maka dapat dirumuskan dua fungsi agama yakni manifest (doktrin dan ritualitas) dan latent (tertutup atau tersembunyi dengan kata lain melahirkan etnosentrisme-fanatisme).

B. Relasi agama sebagai komunikasi antar budaya
          
Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan immaterial, bahkan sikap dan cara berfikir yang sifatnya abstrak. Para pengikut suatu agama kerapkali (bahkan seluruh kehidupannya) menjadikan petunjuk-petunjuk tersebut sebagai wahana, pesan serta pola yang mengatur interaksi, relasi dan komunikasi, baik dalam ritual keagamaan hingga ke komunikasi intrakelompok maupun antar kelompok agama dan keagamaan. Dengan demikian kita bisa melihat banyaknya corak simbol-simbol keagamaan yang sering digunakan disetiap umat beragama misalnya tempat peribadatan, cara berpakaian, dan segenap aktivitas kelompok, organisasi dan lain-lain.

C. Adanya korelasi agama sebagai komunikasi antar budaya menimbulkan beberapa efek
    
 a. Efek sosial
          
pemahaman bersama antara semua pihak yang berhubungan dan berkomunikasi tentang tema dan tugas dan fungsi universal dan internal agama, secara universal , kita mengenal beberapa tugas dan fungsi agama. Yakni edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan.

a). Fungsi edukatif. setiap agama tentu menanamkan nilai-nilai religius terhadap umatnya. sekaligus memberikan pendidikan moral dan melaksanakan praktek-praktek kehidupan yang sesuai dengan ajaran tersebut.
            
b). Fungsi penyelamatan. setiap agama mengajarkan kepada semua umat manusia tentang keselamtan didunia dan diakhirat.
                   
c). Fungsi pengawasan sosial. Ada dua kategori fungsi pengawasan sosial yang mengajarkan cara-cara untuk mengatasi menunjang nilai- seperti nilai yang memerintahkan/menganjurkan/melarang penganut agama untuk melakukan/tidak melakukan tindakan sesuatu tertentu. Kemudian, fungsi profetis atau kritis merupakan fungsi agama yang terletak pada kekhususannya yaitu “kritik” terhadap golongan sosial/pemerintah yang sedang berkuasa, misalnya tindakan pemerintah yang keliru, kurang adil, dan lain-lain.
            
d).   Fungsi memupuk persaudaraan. Setiap agama melaksanakan tugas dan fungsi memupuk persaudaraan. Karena umat beragama sadar tentang kemajemukan umat beragama. Sehingga mewujudkan beberapa segmentasi tentang interumat beragama maupun antarumat beragama misalnya ada yang melakukan kesatuan secara kesatuan sosiologis walaupun dengan berbeda keyakinan, namun ada kesamaan kultur terkadang mengeratkan rasa satu ras, bahasa, daerah dan lain-lain.
            
e).   Fungsi transformatif. Agama mewariskan nilai-nilai baru kepada masyarakat misalnya melalui inkulturasi yang proses penerapannya melalui mimbar atau perikope kitab suci sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat dan lain-lain.
     
b.  Efek terhadap individu
          
Menurut J.P Williams (1962) tingkat keagamaan individu terdiri dari :

a)      Tingkat rahasia. Yakni seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan kepada orang lain.

b)      Tingkat privat atau pribadi. Yakni dia mendiskusikan dengan atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi amat dekat dengan hubungan dengan dirinya.

c)      Tingkat denominasi. Yakni individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau yang privat.

d)      Tingkat masyarakat. Yakni individu yang memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan keagamaan dari warga masyarakat tersebut.

D. Beberapa masalah aktual agama masa kini
     
a.  masalah intern umat beragama
            
Seperti kata Glock dan Stark (1965) misalnya ada kecenderungan semakin tinggi pengetahuan dikalangan intelektual seseorang semakin merosot kepercayaannya kepada agama. Ada kecenderungan kuat pada sementara kalangan umat beragama untuk takluk pada sistem pengetahuan dan tekhnologi dan mulai mengurangi kepercayaan dan ketergantungannya terhadap agama. Kemudian berubah dan merosotnya cara hidup sementara pemimpin agama dan juga kalangan umat beragama sehingga timbul anggapan dan berkurangnya penghargaan dan penghormatan atas kepemimpinan agama. Umat beragama merasa seolah-olah kehilangan tokoh agama panutan yang dapat membimbing mereka.
     
b.  masalah ekstern umat beragama
            
Semakin kuatnya konflik kepentingan apakah itu politik, ekonomi dalam konteks sosial atau masyarakat. Misalnya umat beragama tidak bisa memisahkan agama dengan kelompok rasional, “reference group”,”member group”, mayoritas dan minoritas, atau dengan kelompok etnik. Jadi, semakin kuatnya kecendungan orang menjadikan agama sebagai label kelompok. Serta gejala-gejala konflik terbuka dibidang sosial dan politik yang mengganggu ketahanan dan keamanan masyarakat yang adalah juga umat beragama hanya karena konflik-konflik antar pribadi, antar kelompok dan campur tangan birokrasi negara modern kedalam peranan agama dengan menjadikan agama sebagai label stabilitas.

E. Solusi persoalan antar umat beragama
     
Agama mengharapkan dikembalikan pada esensi dasarnya kembali, agama tidak menginginkan diplintirkan kekiri maupun kekanan yang akhirnya menimbulkan konflik tanpa ujung. Mengutip dari tulisan Prof,H. Deddy Mulyana, M.A P.hd “konflik antar budaya dapat kita hindari apabila kita memahami kultur masing-masing peserta komunikasi”.